Pada umumnya kita tahu bahwa cukai dikenakan untuk membatasi konsumsi masyarakat atas barang kena cukai. Namun belum jamak masyarakat yang tahu bahwa sebagai instrumen penerimaan, cukai adalah primadona bagi banyak negara. Di negara kita saja, penerimaan cukai dalam setahun (data tahun 2011) mencapai angka Rp 75 triliun, atau sekitar 8% dari total penerimaan pajak dalam negeri. Di negara lain seperti Denmark, cukai bahkan menyumbang 11% dari total penerimaan pajak. Mengingat fungsi cukai yang bukan merupakan pajak murni (terutama karena memiliki alasan pembatasan tadi), angka 8% atau 11%  tersebut bukanlah angka yang kecil. Sebagai instrumen penerimaan, cukai memiliki setidaknya dua kelebihan yang tidak dimiliki pungutan pajak biasa. Kelebihan tersebut yang membuat banyak negara diam-diam mengidolakan cukai sebagai instrumen penerimaan. Tulisan singkat ini akan memaparkan dua kelebihan tersebut.

Ekonom sekaligus filsuf Inggris, Frank Plumpton Ramsey, mengatakan bahwa tingkat pajak yang dikenakan pada barang (yang dijual) harus berbanding terbalik dengan tingkat elastisitas permintaan[i] dari barang tersebut. Semakin elastis permintaan akan suatu barang, semakin rendah pajak yang harus dikenakan pada barang tersebut. Begitu pula sebaliknya, terhadap barang yang elastisitas permintaannya rendah, pajak yang dikenakan bisa lebih tinggi[ii]. Barang kena cukai, pada umumnya memiliki permintaan yang bahkan tidak elastis. Dengan sifat yang adiktif dan sangat diperlukan (indispensable) serta tidak adanya barang pengganti (substitusi) dengan tingkat kepuasan yang setara, membuat permintaan akan barang kena cukai tidak elastis. Atas alasan itulah banyak negara berani menetapkan tarif cukai yang tinggi tanpa perlu takut akan berkurangnya konsumsi masyarakat atas barang kena cukai tersebut[iii].

Selain alasan ekonomi di atas, cukai menjadi andalan penerimaan karena alasan kemudahan administrasi. Sebagaimana kita ketahui, barang-barang kena cukai relatif mudah untuk diidentifikasi. Kalau bukan produk tembakau atau alkohol, barang kena cukai di dunia biasanya berupa produk energi, seperti bahan bakar, yang kesemuanya mudah untuk diidentifikasi. Dengan mudah diidentifikasi, administrasi juga semakin mudah dilakukan. Selain itu, biasanya produsen barang kena cukai itu sedikit, tidak massif[iv]. Hal ini memudahkan pemerintah untuk melakukan administrasi, baik dalam hal pelayanan maupun pengawasan. Lebih dari itu, volume penjualan barang kena cukai juga biasanya tinggi, sehingga lebih mudah dalam mengadministrasikan datanya. Tidak perlu menghitung mrentil-mrentil di eceran. Kemudahan administrasi ini memudahkan pemerintah untuk menghitung potensi penerimaan cukai, sekaligus memungkinkan tidak adanya gap antara potensi tersebut dengan realisasinya.

Karena dua alasan tersebutlah cukai menjadi andalan banyak negara sebagai lumbung penerimaannya,. Apalagi di saat upaya eksplorasi pajak konvensional di negara kita yang menimbulkan cukup banyak resistensi, keberadaan cukai dapat membantu rumah tangga negara dalam menjalankan aktivitasnya. Untuk itu, barangkali mulai dapat diwacanakan perlunya penambahan jenis barang kena cukai di Indonesia, semata-mata untuk meningkatkan kapasitas negara dalam menyejahterakan rakyatnya.


[i] Permintaan yang elastis itu permintaan yang akan turun jika harga naik, dan akan naik jika harga turun.

[ii] Teori ini dikenal sebagai Ramsey Rule.

[iii] Hal ini menjadi semacam paradoks dari tujuan cukai yang lain, yaitu membatasi konsumsi.

[iv] Kondisi di wilayah Kudus dan sekitarnya pernah hampir bertolak belakang dengan hal ini, saat pabrik rokok yang berdiri demikian massif yaitu lebih dari 2.000 pabrik pada sebelum tahun 2008.

Artikel ini dengan judul Kehandalan Cukai Sebagai Penerimaan Negara pertama kali dimuat dalam Majalah Gema Cukai, Kabupaten Kudus tahun 2012