Beberapa waktu yang lalu ada serombongan mahasiswa berkunjung ke Kantor Bea Cukai Kudus. Mereka yang berasal dari unit pers kampusnya, hendak mewawancarai Kepala Kantor Bea Cukai perihal penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau di Kudus. Beberapa dari kami terbelalak, beberapa yang lain hanya geleng-geleng kepala. Bukan saja karena persepsi keliru si mahasiswa, tetapi juga karena wajah polos mereka saat menyampaikannya. Mereka mengira, DBH CHT Kabupaten Kudus yang jumlahnya puluhan miliar rupiah setahun itu diberikan dan digunakan oleh Bea Cukai.

Di suatu hari yang lain, ada seorang warga Kudus bertanya. Dia bukan pengusaha rokok ataupun tenaga kerjanya. Dia hanya wiraswasta serabutan, tapi cukup dikenal di Kudus. Maklum, dia mantan caleg. Dia bertanya,”Kemarin saya dimintai tolong untuk mencari pita cukai resmi tapi berharga miring, katanya itu bisa didapatkan kalau nggak beli di Kantor Bea Cukai, ya?”

Ini apaan lagi, pikir kami. Pita cukai resmi tapi tidak didapat dari Bea Cukai?

Kali ini kita tidak akan membahas DBH CHT yang merupakan dana bagi pemerintah kabupaten itu. Atau perihal pita cukai ilegal. Setidaknya belum kita bahas. Tapi kita akan sedikit merefleksikan persepsi masyarakat Kudus tempat kretek dilahirkan terhadap peraturan tentang cukai. Memang sih, contoh tadi barangkali tidak representatif, namun bila dianggap hologram, maka secuil pun sudah mewakili keseluruhan, jadi bisa kita generalisasi. Apalagi kalau kami ceritakan ada warga Kudus yang datang ke Kantor Bea Cukai untuk menanyakan dana Bantuan Operasional Sekolah!

Kita tahu, kretek lahir di kota ini. Industri kretek pun pertama kali lahir di kota ini. Kalau kita berkunjung ke museum kretek, kita bisa lihat bahwa gairah industri kretek demikian melekat di keseharian masyarakat Kudus sedari dahulu. Sejak masa Tjap Bal Tiga di masa belum merdeka hingga sekarang ini. Seperti foto yang memperlihatkan sebuah mobil mahal pada masa itu yang dijadikan hadiah sayembara kretek. Kita bisa pikirkan bahwa industri ini sudah besar di masa itu. Bukan baru-baru ini. Yang artinya, industri kretek telah membantu perekonomian masyarakat Kudus sejak awal kelahirannya.

Lalu bagaimana dengan pungutan cukai dan yang memungutnya, Bea Cukai? Apakah mereka hadir baru-baru ini? Apakah aturan cukai dibuat karena industri kretek yang besar, lalu oleh negara dipungut cukainya? Apakah Nitisemito dahulu tidak membayar cukai atas kretek yang dihasilkannya?

Sekadar untuk diketahui, pungutan cukai sudah ada sejak masa lampau di berbagai peradaban dunia. Seperti yang tercatat, cukai sudah ada pada masa Dinasti Han di China dan Dinasti Maurya di India sekitar seribu tahun sebelum masehi. Di Indonesia sendiri, cukai telah lama diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda.

Peraturan cukai tembakau terakhir, sebelum Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995, adalah Ordonansi Nomor 517 tahun 1932 tentang cukai tembakau. Artinya, waktu di saat perusahaan Nitisemito sedang jaya-jayanya, sudah ada ketentuan cukai atas produk hasil tembakau, termasuk kretek. Melihat karakter dan kebesarannya, kita patut menduga Nitisemito pasti juga membayar cukai pada masa itu.

Lalu siapa yang memungut cukai itu? Apakah wedana atau bupati saat itu? Ternyata bukan. Pemungut cukai sedari dulu adalah Bea Cukai yang waktu itu bernama resmi De Dienst der In en Uitvoer Rechten en Accijnzen. Dalam bahasa Indonesia, azzijnzen berarti cukai. Perkara teknis pemungutannya seperti apa, belum ada penelitian lebih lanjut tentang hal itu.

Kudus adalah tempat kretek lahir dan dibesarkan. Cukai adalah sarana masyarakat kretek untuk berkontribusi bagi perekonomian negara. Keduanya ternyata telah ada sejak lama, bukan salah satunya saja. Masyarakat kretek adalah sahabat Bea Cukai dari waktu ke waktu. Sejak masa Nitisemito hingga sekarang ini. Maka jika ada warga Kudus yang belum memahami betul apa itu cukai dan Bea Cukai, maka itu tantangan bagi kami di Bea Cukai Kudus. Barangkali karena kita sudah lama tidak berbincang-bincang lagi. Atau mungkin kita sudah saling sibuk sendiri.

Artikel ini pernah dimuat dalam Kolom Cukai pada sebuah surat kabar lokal di Jawa Tengah.