“Manchester is Blue” adalah bunyi salah satu spanduk yang dibentangkan pendukung Manchester City (yang berseragam biru) saat timnya berhasil menjuarai Liga Inggris musim ini. Foto spanduk itu dimuat di Tribun Jabar (15 Mei 2012). Tentu saja spanduk tersebut ingin menegaskan bahwa bukan lagi Manchester United (yang berseragam merah) yang berkuasa saat ini.
Banyak pihak menilai keberhasilan City ini semata-mata faktor sokongan dana dari Syeikh Manshour, sang pemilik. Kita memang tidak dapat menafikan itu. Namun jika kita pelajari, ada sisi strategis di balik keputusan investasi Wakil Perdana Menteri Uni Emirat Arab tersebut, yang membuat sokongan dananya menjadi efektif.
Uni Emirat Arab (UEA) saat ini adalah gurun tandus yang berhasil disulap menjadi kemegahan dunia. Secara politik, perubahan wajah negeri itu mampu mengubah persepsi dunia terhadap kawasan Timur Tengah. Ini adalah keberhasilan tingkat dunia, dan Manshour adalah salah satu tokoh di baliknya. Seeing is believing: dengan pengalaman tersebut, menjuarai Liga Inggris bukanlah hal di luar akal seorang Manshour. Ini adalah modal yang utama.
Skema transformasi UEA sederhana: dari sosok yang tidak diperhitungkan kemudian berubah menjadi pusat perhatian (baca: pemenang) di dunia. Skema ini pula yang kita lihat pada City. Selama ini klub yang diperhitungkan menjadi juara hanya The Big Four: Manchester United, Arsenal, Chelsea, dan Liverpool. Oleh karenanya Manshour memilih City, bukan United atau Liverpool yang saat itu juga menantikan investasi baru. Hal ini juga sekaligus menegaskan kenapa Manshour memilih klub Liga Inggris, yang merupakan simbol pasar sepakbola dunia.
Tapi mengapa City, bukankah banyak klub lain yang juga tidak diperhitungkan? Sebagai politisi, Manshour tidak hanya menghendaki kemenangan sepakbola, tapi juga kemenangan publik. Dia ingin menjungkirbalikkan persepsi publik tepat di kota Manchester, tempat United, lambang status quo sepakbola Inggris dan dunia, selama ini bersemayam. Sebagai contoh, City pernah memasang baliho raksasa bergambar Carlos Tevez berseragam biru di gerbang kota Manchester. Saat itu Tevez baru dibeli setelah disia-siakan United. Ini adalah siasat ala politisi. Jika saat itu yang dalam posisi United adalah Liverpool, besar kemungkinan dia akan membeli Everton.
Selain itu, fakta bahwa pendukung City cenderung loyal, juga menguntungkan bagi investasi Manshour. Meskipun fanatik, perangai mereka tetap santun. Rivalitasnya dengan United tidak diekspresikan secara kasar, bahkan bisa kita nikmati. Keberadaan suporter ini merupakan jaminan kepercayaan terhadap investasinya. Berbeda halnya jika dia membeli, katakanlah, Lazio (yang juga berseragam biru). Klub Italia itu memiliki suporter garis keras yang kerap tidak rasional dalam memahami kinerja klubnya.
Kesuksesan City ini tentu dapat dipelajari oleh Persib, yang juga berseragam biru, untuk mengembalikan kejayaannya. Manchester is Blue, Bandung Juga Biru.