Teringat soal ujian Pendidikan Moral Pancasila (PMP) saat Sekolah Dasar: “Saat kamu hampir terlambat masuk sekolah, lalu di tengah perjalanan ada seorang nenek yang sedang kesulitan menyeberang jalan, apa yang harus kamu lakukan?” Jawaban yang benar waktu itu adalah kita harus menolong nenek dulu, meskipun kita terlambat masuk sekolah. Dua puluh tahun kemudian, si murid SD tersebut menjadi Pegawai Negeri Sipil. Suatu hari ia terapkan pelajaran PMP tadi: menolong orang lain di perjalanan menuju kantor. Dia pun terlambat absen finger print. Gajinya kemudian dipotong, bahkan bisa terancam hukuman disiplin bila berulang-ulang.
Lain lagi warga yang dengan sukarela memberi uang lima puluh ribu rupiah kepada pamong desa karena telah dibuatkan KTP. Secara kriteria, perbuatan tersebut termasuk suap. Si pamong desa korupsi. Tapi menurut si warga, ini termasuk tepo seliro, peka terhadap orang lain. Si pamong adalah tetangganya, anaknya banyak, gajinya tidak seberapa. Saat si pamong telah menolongnya, maka kewajiban moral baginya untuk membalas budi.
Reformasi birokrasi telah menciptakan setidaknya dua kebingungan. Selama ini banyak pihak mengklaim sistem birokrasi di Indonesia itu sudah bagus, tinggal orang-orangnya saja. Sistem sudah memungkinkan dicegahnya korupsi, penegakan disiplin, serta mekanisme yang menunjang kinerja. Tapi orang-orangnya belum memungkinkan. Namun kejadian terlambatnya PNS di awal tulisan menimbulkan pertanyaan: Apakah orang dengan kriteria moral sebagus ini tidak relevan bagi sistem birokrasi saat ini? Ini kebingungan pertama.
Kebingungan kedua, birokrasi tampaknya telah mengalami reorientasi. Birokrasi yang awalnya merupakan alat untuk mencapai tujuan, telah menjelma menjadi tujuan itu sendiri. Contoh pemberian uang pada proses pembuatan KTP menjadi gambaran. Pada dasarnya, KTP merupakan hak warga negara. Semestinya negara melayani warganya dengan cara membuatkannya. Tapi yang terjadi adalah kebalikannya. KTP menjadi kewajiban warga untuk mengurus birokrasi pembuatannya pada negara. Sehingga terciptalah peluang korupsi seperti tadi. Dan bagi warga itu sebuah pertolongan karena kewajibannya gugur.
Dengan kebingungannya, reformasi birokrasi masih tampak artifisial. Bias antara substansi dengan formalitas masih terasa. Sejauh ini reformasi birokrasi baru berarti perubahan struktur, peningkatan remunerasi, pengetatan disiplin, dan penumpukan administrasi kerja (SOP, IKU, LAKIP, dan lain-lain) saja. Reformasi birokrasi belum menciptakan perubahan yang substansial. Belum menghipnosis secara budaya.
Rasa Indonesia
Jangan-jangan pandangan bahwa sistem birokrasi kita sudah bagus itu keliru. Jangan-jangan bukan orangnya yang tidak relevan. Bisa jadi sistem birokrasinya yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kearifan Indonesia. Sudut pandang warga yang memberi uang pada pamong saja berbeda dengan sudut pandang birokrasi. Warga yang tumbuh bersama ragam kultur asli Indonesia, dengan sistem tepo seliro dan balas budi di satu sisi, dengan birokrasi bersama kriteria formal tertentu di sisi yang lain.
Bisa jadi ketidakefektifan sistem birokrasi berstandar internasional (baca: negara maju) ketika diterapkan di Indonesia memang karena tidak selaras dengan kultur bangsa kita. Akal kolektif kita jangan-jangan menolak sistem remunerasi gaji, karena terbiasa dengan kearifan sistem tanah bengkok di desa. Atau sistem kepatuhan internal yang berseteru dengan budaya toleransi.
Tampaknya perlu dikaji kemungkinan alternatif sistem birokrasi yang selaras dengan nilai-nilai kearifan budaya Indonesia. Konsep awal bisa saja dari luar, tapi mutlak diadaptasi dengan kultur besar bangsa kita. Mungkin semacam restorasi birokrasi. Merujuk pada Restorasi Meiji di Jepang, modernisasi dengan tetap arif menjaga spirit tanah airnya.
Jika hidup bernegara saja kita perlu memperhatikan pluralitas budaya lokal, maka sepatutnya pula dalam pergaulan hidup antar bangsa, kita tidak perlu memaksakan standar negara maju tertentu ke dalam karakteristik bangsa kita.