Cara berpikir dapat dianalogikan sebagai software otak manusia. Saat ini terdapat lebih dari 50.000 software komputer. Namun tidak ada lagi pengembangan software otak manusia. Cara kita berpikir menggunakan software buatan Yunani sekitar 2.400 tahun yang lalu. Cara kita berpikir sangat banyak dipengaruhi oleh pemikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles.

Socrates adalah pencetus didewakannya argumen. Dia suka kegiatan bertanya yang memancing, dan dia tertarik pada perdebatan.

Plato berorientasi pada “kebenaran” sejati. Cara berpikir a la Plato adalah mencari apa yang “benar” dan menghukum yang “salah”.

Aristoteles adalah perancang logika kotak. Cara berpikir yang mengandalkan logika. Segala sesuatu itu berada pada kotak atau tidak ada sama sekali. Itu mengapa ketika menyebut sesuatu yang tidak logis dengan berpikir di luar kotak (out of the box).

Dampak software Yunani pra-sejarah ini begitu melekat pada kita. Misalnya saat kita berpikir untuk menyelesaikan masalah atau berdiskusi. Kita akan mencari siapa yang salah (Plato), lalu memperkuat argumen (Socrates) bahwa dia benar-benar salah, secara logis (Aristoteles). Kita menyukai perdebatan. Cara media massa dalam memberitakan sesuatu, berdasarkan hal ini. Acara bertajuk polemik, kita suka, bukan?

Sistem peradilan memakai software ini mentah-mentah. Pertama, terdakwa adalah pihak yang bersalah, jaksa dan pembela kemudian berdebat dan beradu argumen, lalu hakim menentukan “kebenaran” sesuai logika kotak benama hukum positif.

Kita berorganisasi atau bekerja, sangat menyukai dan berorientasi pada peraturan. Ini juga sama. Kita berpikir bahwa segala sesuatunya harus logis, maka kita buatkan kotak logikanya: peraturan. Peraturan ini kita gunakan sebagai standar kebenaran. Argumennya adalah, yang benar itu yang taat peraturan, yang melanggarnya salah.

Dalam pendidikan, standar kebenaran berupa nilai. Untuk menentukan argumen logis pembelajaran, yang benar adalah mereka yang bernilai baik, yang jelek itu salah, patut di-DO. Siswa dibandingkan satu dengan yang lain, hanya untuk bersaing menjadi siapa yang paling benar.

Software Yunani ini benar-benar telah ter-install dan kita pakai, secara sadar atau tidak.

Tapi saya tidak mengatakan bahwa cara berpikir ini keliru, hanya saja belum cukup.

Tahu dari Mana?

Tahu dari mana jika cara berpikir a la Yunani tadi belum cukup? Mengukurnya sebenarnya gampang. Manusia berpikir untuk melanggengkan kehidupannya di dunia, untuk mencapai tujuannya, untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Saat tujuan hidup kita tidak kunjung tergapai, mungkin ada yang kurang dari cara berpikir kita. Saat banyak masalah yang tidak terselesaikan, bisa jadi banget karena mentoknya cara berpikir kita.

Kelaparan yang terus melanda, kemiskinan yang terus menyebar, korupsi yang mewabah, konflik yang tak kunjung usai, birokrasi yang ruwet, mungkin pertanda konkret bahwa kita kekurangan cara berpikir.

Lalu Bagaimana?

Mencari dan menambah cara berpikir lain adalah solusinya. Saat Mohammad Yunus mendirikan Grameen Bank, dia tidak mentok berpikir dengan software Yunani tadi. Dia melakukan terobosan, tidak berpolemik, bertindak tidak logis, dan berhasil.

Saat Google hendak meluncurkan Android, mereka tidak berpanjang wacana. Mereka tidak berargumen bahwa Android akan mengalahkan OS yang sudah ada. Justru pihak lain yang berpolemik. Bos Symbian memancing argumen bahwa merekalah sang penguasa pasar (padahal Google tidak menyerangnya). Symbian berpikir akan berperang melawan Android. Sekarang Android adalah pemuncak pasar, Symbian hampir kolaps.

Mohammad Yunus dan Google tidak berargumen, mencari benar-salah, dan menyesuaikan diri dengan logika. Alih-alih, mereka justru berpikir mendesain sesuatu yang bermanfaat. Berfokus pada apa yang bisa dihasilkan, bukan apa yang dilakukan ini benar dan logis, atau tidak.

Cara berpikir menentukan orientasi tindakan kita. Kita kekurangan cara berpikir yang mengarahkan tindakan kita ke solusi dan inovasi. Berpolemik itu tidak produktif dan biasa-biasa saja. Trio Yunani tadi sudah mentok.