Selain memakai software uzur untuk berpikir, kita juga kerap menggunakan software itu-itu saja saat bekerja dan berorganisasi.

Revolusi industri ternyata berdampak sistemik dan jangka panjang. Pada masa awal revolusi industri, tenaga kerja sangat berlimpah. Keberadaannya begitu mudah digantikan. Mereka adalah buruh yang mengoperasikan pabrik. Tenaga yang dipakai adalah fisik, bukan otak. Buruh dibayar murah, kalau merengek minta kenaikan, tinggal diganti saja.

Premis dasar industri adalah efisiensi. Semakin kecil biaya, semakin besar laba yang didapat. Upah buruh adalah bagian dari biaya, semakin murah semakin baik.

Pabrik memusatkan organisasi pada perintah, arahan, dan aturan. Untuk memproduksi, buruh harus melakukan serangkaian prosedur linier yang berulang-ulang. Buruh bekerja setelah diperintahkan mandor. Mandor menunggu arahan manajer. Demikian seterusnya. Kesemua proses itu dibalut dalam peraturan perusahaan. Mereka yang patuh dan taat berarti benar. Mereka yang melanggar berarti salah.

Zaman sudah berubah, kebutuhan juga sudah berubah, tapi cara berpikir kita masih sama.

Saat ini pakar manajemen berargumen bahwa manusia adalah aset terpenting perusahaan. Namun, gaji pegawai masih masuk sebagai komponen pengurang laba di Laporan Laba Rugi, sama sekali tidak dihitung sebagai aset. Apa akuntansi juga sudah mentok?

Kebiasaan memusatkan organisasi pada peraturan juga masih kita banggakan. Aturan menciptakan stabilitas dan, yang pasti, kepatuhan. Kita terbiasa untuk menyesuaikan diri pada aturan, mengharuskan diri untuk patuh dan taat. Karena, entah berada di lubuk hati yang mana, kita berpikir jika kita tidak taat, maka kita akan digantikan oleh mereka yang mau dibayar lebih murah.

Okelah, taat mungkin sedikit diperlukan, tapi patuh seperti robot itu pantas dikhawatirkan.

Yang lebih miris adalah kebiasaan menunggu arahan, instruksi, dan bekerja setelah diperintah. Tanpa perintah kita tidak bekerja. Di bangku sekolah kita telah belajar itu semua. Ikuti aturan, maka kamu akan baik-baik saja.

Saat kecil, kita sangat mudah berinisiatif. Kita bisa berjalan karena kita berinisiatif untuk tumbuh, bukan karena diinstruksikan orang tua. Namun ketika kita bergabung dengan organisasi, nyali inisiatif itu hilang. Semua belum diperintahkan. Tampaknya inisiatif itu berisiko. Mengganggu sistem, prosedur, dan stabilitas yang ada. Duduk manis saja, tunggu disposisi atasan.

Saat menjadi bawahan, kita pasif dan pasrah menunggu perintah. Saat menjadi atasan, kita sibuk memberi perintah (lagi pula ‘atasan’ dan ‘bawahan’ juga istilah warisan revolusi industri). Hal yang krusial adalah, kebiasaan cara bekerja seperti ini, membuat kita mudah digantikan oleh orang lain. Toh kita biasa-biasa saja.

Ini Bukan Teori Konspirasi

Saya harus menegaskannya di sini. Bukan saya menyangkal bahwa teori konspirasi itu tidak ada. Sebagaimana saya juga tidak mengatakan bahwa teori konspirasi itu memang ada. Saya ingin memisahkan diri dari teori konspirasi, serangan pemikiran, dan sejenisnya. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah, teori konspirasi seringkali tidak memberdayakan kita. Dengan mempercayainya, kita sering merasa menjadi korban saja. Saat kita merasa diri menjadi korban, maka kita tidak akan ke mana-mana. Kecuali termakan nasib yang sudah kita duga sejak awal.