Ilustrasi orang normal dalam film Spongebob Squarepants episode Not Normal, barangkali cukup menggambarkan ritme hidup rata-rata orang. Orang dengan cara berpikir dan cara bekerja yang serupa, memiliki pola hidup yang serupa juga. Mereka bahkan memiliki standar obrolan yang sama.

Peta hidup warisan revolusi industri itu standar: sekolah, menjadi karyawan, menunggu instruksi, naik pangkat, lalu pensiun. Apakah kita memiliki peta hidup yang seperti itu?

Orang ‘normal’ dalam ilustrasi Spongebob adalah orang rata-rata. Orang biasa-biasa saja. Tidak ada antusiasme hidup. Tidak bergairah melakukan sesuatu yang berarti. Tidak cukup bernyali. Dunia kekurangan orang-orang yang ‘tidak normal’.

Di saat semua orang ‘normal’, menjadi ‘tidak normal’ berarti menjadi sesuatu yang berbeda. Sekilas memang tampak demikian. Tapi berbeda yang seperti apa? Apakah di saat orang normal memakai celana dalam di dalam celana panjangnya, kita harus memakainya di luar agar berbeda? Asal berbeda itu bodoh. Tidak mengubah apapun. Bukan itu maksudnya menjadi ‘tidak normal’. Jika menjadi berbeda adalah jalannya, maka seperti Apple: “Think Different”-lah yang dibutuhkan. Berpikir dengan cara yang berbeda.

Berpikir yang Memberdayakan

Apa alternatif (untuk tidak disebut pengganti) cara berpikir benar-salah a la Plato?

Alih-alih mencari ‘kebenaran’, mendingan kita salurkan energi berpikir kita ke pertanyaan: ini memberdayakan kita atau tidak. Memberdayakan adalah memberi kekuatan untuk bertindak ke arah yang lebih baik. Memberdayakan itu bermanfaat positif.

Berpikir hujan itu menyengsarakan adalah contoh pikiran yang tidak memberdayakan kita. Saat berpikir seperti ini, kecenderungan sikap yang diambil adalah kecewa karena datangnya hujan, merasa menjadi korban kesengsaraan, dst. Akhirnya kita jadi sengsara betulan. Bukannya memberdayakan, tapi memperdayakan.

Dan pikiran ini bisa saja ‘benar’ dalam sudut pandang a la Plato. Bagaimana tidak membuat sengsara, membuat baju basah, pilek, jalanan licin, dsb. ‘Benar’, kan?

Berbeda jika kita berpikir bahwa hujan itu menyenangkan. Bukannya suntuk, dengan berpikir kalau hujan itu menyenangkan, membuat kita bergembira. Tindakan kita berikutnya juga bernada gembira. Ini contoh yang memberdayakan. Memberi kita energi.

Dalam sudut pandang Plato, pikiran ini juga bisa ‘benar’ dan ‘salah’. Tapi memikirkan sesuatu itu ‘benar’ dan ‘salah’, kadang juga tidak memberdayakan.

Misalnya ada pernyataan “Tidak ada kegagalan, yang ada hanyalah umpan balik pembelajaran”. Jika kita membahas pernyataan tersebut dari sudut pandang benar-salah, apa yang terjadi? “Itu riset siapa?”, “Berapa orang yang merasakan hal itu?”, “Kata siapa?”, “Benarkah tidak ada kegagalan di dunai ini?”, dst.

Tapi ketika kita melihatnya dari sudut pandang memberdayakan atau tidak, apa yang terjadi? “Kegagalan itu sebuah keniscayaan, tentu lebih memberdayakan kita, jika kejadian itu kita jadikan umpan balik pembelajaran kita ke depan, ketimbang merutukinya sebagai nasib kegagalan yang nestapa”. Itu maksudnya berpikir memberdayakan.

Satu Gambar Seribu Kata?

Tulisan berikut tentu hanya mengundang perdebatan, jika hanya dipindai dengan software Yunani kuno. Tapi akan mengasyikkan jika diteropong dengan sudut pandang memberdayakan atau tidak.

“Picture paints a thousand words”

Penggalan lagu If bawaan Bread, masih ingat? Pernyataan itu juga sudah familier dan digunakan di mana-mana. Kata Confucius, pemilik pernyataan tersebut 2.500 tahun yang lalu, sebuah gambar melukiskan seribu kata. Kita semua percaya. Konon karena pernyataan tersebut, kita lebih cenderung mendewakan dominasi visual (mata) di atas peran panca indera yang lain, dalam proses hidup dan berpikir. Tapi hasil penelitian Richard Bandler dan John Grinder menemukan hal yang berbeda: manusia ternyata memproses pikirannya dengan bahasa (verbal). Benar ada visualisasi dalam pikiran, seperti saat kita sedang mengingat sebuah kejadian dan tampaklah gambar kejadian tersebut, namun selalu ada struktur bahasa di setiap gambar tersebut. Semacam ada tulisannya.

Saat kita marah, di dalam pikiran kita juga terlintas sebuah kalimat, entah “kurang ajar “ atau yang lain. Saat kita senang, juga ada pernyataan kita yang lain. Dalam setiap proses berpikir, kita menggunakan struktur bahasa sebagai tulang punggungnya. Itulah kenapa kita sering menyebut, “dengarkan isi hatimu”, “hati nuraniku berkata”, atau “bisikan hati”. Semuanya menggunakan pola bahasa, bukan gambar. Kitab suci dan hadits nabi juga terwariskan dalam bentuk struktur bahasa, bukan gambar.

Pernyataan Confucius tadi juga langgeng dalam bentuk kalimat, bukan dalam bentuk gambar. Jack Trout, ahli pemasaran Amerika, penasaran. Setelah ditanyakan lagi ke ahli bahasa Cina, ternyata arti pernyataan Confucius tadi adalah “sebuah gambar berarti seribu emas”.

Membuat Gagasan Baru

Kekurangan terbesar lainnya adalah kurangnya gagasan baru yang memperbaiki kehidupan, yang mengajak dunia ke tahap berikutnya. Padahal sejarah dibentuk dengan gagasan-gagasan baru. Menjadi ‘tidak normal’ adalah tentang membuat gagasan baru.

Dunia memerlukan gagasan baru untuk mengatasi konflik, kelaparan, kemiskinan, pengangguran, korupsi, birokrasi yang ribet, dst. Dunia memerlukan terobosan yang berarti. Grameen Bank adalah gagasan baru yang menerobos pola perbankan konvensional. Memberikan kredit buat orang miskin itu di luar logika yang ada. Di mana-mana orang miskin justru sulit mendapatkan kredit. Grameen Bank adalah terobosan yang berarti. Di India ada sebuah rumah sakit mata terbesar di dunia. Namanya Aravind Eye Care Center. Setiap tahunnya lebih 1,4 juta pasien dirawat di sana. Yang hebat, dua pertiga pasiennya tidak perlu membayar biaya pengobatan. Sepertiga sisanya hanya membayar rata-rata 75 dollar. Aravind menerobos dengan berani.

Gagasan baru yang dibutuhkan adalah gagasan besar yang sepertinya mustahil.