Bank Dunia (1996) telah merilis fakta bahwa terdapat hubungan yang positif antara terintegrasinya suatu negara ke dalam perdagangan global dengan tingkat pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Semakin cepat suatu negara terlibat aktif dalam perdagangan bebas dunia, semakin cepat pula ekonominya bertumbuh.
Atas alasan yang sama, World Customs Organization (WCO), organisasi perkumpulan bea cukai sedunia, mencetak biru konsep reformasi bea cukai bagi negara-negara anggotanya. Bahwa dalam menghadapi era perdagangan bebas, bea cukai tidak lagi berfungsi melindungi industri dalam negerinya dengan proteksi tarif bea masuk yang tinggi, tetapi menjalankan fungsi fasilitasi perdagangan yang memprioritaskan kelancaran arus barang yang legal dan efisiensi pelaku usaha. Di sisi yang lain, tanggung jawab bea cukai dalam hal penegakan hukum atas arus barang yang ilegal semakin ditingkatkan, terutama sejak peristiwa 11 September 2001. Karena menjalankan fungsi yang sepertinya bertolak belakang, melayani sekaligus mengawasi, bea cukai modern dituntut untuk menerapkan manajemen risiko atas setiap transaksi perdagangan secara patut.
Namun konsep reformasi bea cukai versi WCO tersebut menemui kendala yang serius saat diterapkan pada negara-negara berkembang. Kendala pertama, risiko impor yang dikelola negara berkembang terlalu tinggi. Negara-negara berkembang pada umumnya dipenuhi oleh importir-importir pedagang oportunis. Mereka adalah pebisnis yang membentuk banyak perusahaan impor untuk memasukkan beraneka macam barang untuk dijual, dari tusuk gigi, telepon seluler, hingga mobil mewah. Mereka bukanlah perusahaan besar yang fokus dalam industri perdagangan tertentu, tetapi semacam kartel yang memberitahukan nilai transaksi impor di bawah nilai yang sebenarnya sehingga mendapat penghitungan bea masuk dan pajak impor lebih rendah dari yang seharusnya. Manipulasi harga transaksi ini terjadi setiap kali melakukan importasi dari sekian banyak transaksi setiap perusahaan. Dengan situasi seperti ini, bola panas berbalik pada pejabat bea cukai yang harus meneliti dokumen dan fisik barang impor para pengusaha oportunis ini, lalu menetapkan kembali besaran kewajiban pabean yang harus importir bayar. Pejabat bea cukai menghadapi tantangan yang dilematik, waktu dan hasil penelitiannya dapat dianggap menghambat kelancaran arus barang, sementara ketika diabaikan, di dalam negeri akan dibanjiri produk-produk impor dengan harga tidak wajar yang merusak pasar.
Risiko yang semula melekat pada profil importir dan komoditi, kemudian berbalik menjadi risiko tugas pejabat bea cukai. Atas tindakannya memberantas praktik manipulasi nilai transaksi importir nakal, pejabat bea cukai bisa-bisa terkena bumerang karena dianggap “berbuat tidak menyenangkan” atau “menyalahgunakan wewenang”. Reformasi bea cukai di negara-negara berkembang akan memunculkan pihak yang menang dan yang kalah, sehingga mutlak membutuhkan dukungan politik dari pemegang kekuasaan tertinggi yang sayangnya justru kerap tidak ada (De Wulf, 2005). Ketika dukungan politik absen, maka kaum reformis menjadi pihak yang kalah bersamaan dengan segenap rencana reformasinya. Reformasi yang membutuhkan dana tidak sedikit mungkin tetap berjalan, namun hanya menjadi seremonial dan kosmetis belaka. Inilah kendala serius berikutnya.
Risiko yang semula melekat pada transaksi, lalu berpindah pada pejabat bea cukai, sekarang menimpa pada kapasitas negara secara keseluruhan. Kegagalan reformasi bea cukai akan menjadi awal kegagalan persaingan negara berkembang di era global. Negara berkembang yang cenderung memiliki industri tidak efisien akan semakin terpojok oleh dominasi negara lain. Kedaulatan politik bisa jadi akan tetap utuh, namun kedaulatan ekonomi sang negara berkembang tampaknya akan dipikirkan kembali. Pertaruhan yang terlihat sepele namun sangat mahal.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sebagai negara anggota WCO sejak tahun 1957, Indonesia telah mengadopsi konsep dan menggelar serangkaian reformasi bea cukai tahap pertama pada tahun 2002 dan tahap kedua beriringan dengan reformasi birokrasi Kementerian Keuangan sejak tahun 2006 hingga sekarang. Dalam WCO Annual Report 2013, prestasi kinerja administrasi bea cukai Indonesia terbilang baik, dengan tarif dan prosedur yang sudah cukup sederhana. Namun keberhasilan reformasi bea cukai Indonesia yang sebenarnya tergantung pada kemampuan pemerintah untuk mengatasi kendala sebagaimana di atas, apabila ada, serta bagaimana masyarakat luas rela melepaskan stigma negatif tentang bea cukai di masa lalu, dan kemudian mendukung kaum reformis untuk memenangkan pertempuran.