Perjalanan Indonesia sebagai negara merdeka akan memasuki usia yang ke-63 tahun di Agustus 2008 ini. Derap pembangunan fisik maupun non fisik sebagai upaya mencapai tujuan berbangsa dan bernegara begitu jelas terdengar mengiringi perjalanan yang tidak singkat tersebut. Kebijakan pemerintah tentang cukai selama ini juga merupakan bagian dari upaya dimaksud.

Apa Itu Cukai?

Cukai, atau excise dalam bahasa Inggris, merupakan pungutan negara yang dikenakan pada barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan oleh undang-undang. Berdasarkan UU No. 39 tahun 2007, sifat dan karakteristik tersebut adalah konsumsinya perlu dikendalikan, atau peredarannya perlu diawasi, atau pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup, atau pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan. Barang yang memiliki sifat dan karakteristik tersebut merupakan obyek cukai, yang kemudian disebut sebagai barang kena cukai. Saat ini di Indonesia, barang kena cukai ada 3 jenis, yakni etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol (minuman keras), dan hasil tembakau. Dari ketiga jenis obyek cukai ini, hasil tembakau memasok mayoritas besaran cukai ke pundi-pundi kas negara, sekitar 98% dari total penerimaan cukai. Adapun yang dimaksud dengan hasil tembakau adalah rokok (sigaret), cerutu, kelembak menyan, rokok daun (klobot), tembakau iris, dan hasil olahan tembakau lainnya.

Dapat dipahami secara sederhana bahwa cukai merupakan pungutan oleh negara secara tidak langsung kepada masyarakat yang mengkonsumsi barang kena cukai tersebut. Dikatakan secara tidak langsung, karena dalam hal ini pihak produsen barang kena cukai (misal pabrik rokok) harus membayar cukai dulu sebelum memasarkan produknya. Sehingga besaran cukai yang dibayarkan ke negara tersebut dibebankan ke dalam komponen harga jual produknya, atau dengan kata lain dibebankan kepada pembeli.

Manfaat Cukai

Filosofi pengenaan cukai berbeda dengan filosofi pengenaan pungutan negara lainnya seperti pajak, bea masuk, apalagi retribusi. Filosofi pengenaan cukai sendiri sebenarnya adalah pembatasan atau pengendalian (to control) konsumsi di masyarakat atas barang yang dapat berdampak negatif bagi kesehatan, moral, sosial, atau lingkungan. Karakter filosofis semacam inilah yang mampu menghadirkan banyak variasi barang yang dapat dikenakan cukai, seperti yang diterapkan di negara-negara lain.

Aspek pokok yang melekat pada pengenaan cukai selain alasan filosofisnya adalah aspek pemenuhan asas keadilan dan keseimbangan di masyarakat. Ketika barang kena cukai dikonsumsi, pasti ada pihak yang harus menerima dampak negatifnya. Misalkan saja rokok. Masyarakat yang tidak merokok (perokok pasif) mau tidak mau harus menerima dampak negatif dari masyarakat yang merokok (perokok aktif). Untuk mengurangi dampak negatif tersebut, misalkan saja perlu dibuatkan kawasan bebas rokok, pelayanan kesehatan, atau penghijauan lingkungan. Nah untuk merealisasikan fasilitas tersebut tentu diperlukan biaya. Untuk memenuhi asas keadilan, biaya tersebut tidak dibebankan kepada masyarakat yang memerlukan fasilitas dimaksud (perokok pasif), tetapi dibebankan kepada mereka yang menyebabkannya (perokok aktif). Jadi semacam subsidi silang, tetapi tidak langsung.

Konsep yang hampir mendekati ’subsidi silang’ langsung ada di negara kita, yakni alokasi dana bagi hasil cukai bagi daerah penghasil cukai. Disebut langsung karena 2% dari cukai yang disetor, dikembalikan ke provinsi penyetor, sehingga pemanfaatannya bisa dirasakan secara langsung di daerah tersebut. Namun yang masih menjadi pertanyaan adalah, bagaimana dengan daerah lain yang tidak menghasilkan cukai, namun ikut terkena dampak konsumsi barang kena cukai? Tampaknya hal ini masih bisa menjadi kajian bagi kami di Bea Cukai, bersama unsur penyelenggara negara lain, dan tentu saja masyarakat.

Satu yang pasti, cukai memang bukan kebijakan yang semata-mata untuk memasok penerimaan negara saja. Lebih dari itu, cukai beserta segenap karakter uniknya, mampu menghadirkan spektrum manfaat yang luas bagi bangsa dan negara, justru dari karakter uniknya tersebut.

Artikel ini pernah dimuat dalam Majalah Gema Cukai terbitan Pemkab Kudus pada tahun 2008.