Pada suatu kesempatan beberapa bulan yang lalu, penulis secara kebetulan bertemu dengan salah seorang calon pegawai baru. Kami berasal dari satu daerah. Seperti lazimnya perkenalan antar pegawai Bea dan Cukai, obrolan kami berlanjut ke masalah penempatan. Ternyata yang bersangkutan ditempatkan di suatu tempat di pulau Jawa. Bagi orang Jawa seperti penulis, penempatan seperti dia adalah sebuah ‘anugerah’, karena tidak begitu jauh dari kampung halaman. Oleh karena itu penulis ucapkan selamat kepadanya. Tapi reaksi sang calon pegawai tadi ternyata jauh dari yang penulis perkirakan. Dengan mimik kecewa ia berkata,”..nggak enak Mas, di sana kering …”. Tanpa harus berburuk sangka, penulis tahu persis apa yang dimaksud kering olehnya. Walau kemudian obrolan berlanjut, dalam hati penulis terus berfikir, kalau baru masuk saja sudah terpola orientasi semacam ini, bagaimana kelanjutannya?

Penulis tidak ingin melakukan generalisasi bahwa semua pegawai baru telah terpola orientasi demikian. Namun sepotong fakta di atas setidaknya dapat menjadi bahan renungan bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang sedang menata citranya sebagai institusi yang dapat dipercaya publik. Penulis juga tidak menggeneralisir bahwa semua pegawai lama yang dimaksud dalam tulisan berikut, berpola pikir dan berperilaku kurang sesuai. Keduanya hanya merupakan oknum.

Pegawai baru, dengan segenap potensinya, merupakan modal paling berharga yang dimiliki Direktorat Bea dan Cukai dalam menatap masa depan. Kehadirannya bagi tubuh institusi ini, bagaikan suntikan darah baru. Ketika Bea dan Cukai sedang terpuruk dalam kinerja dan citra di satu sisi, dan di sisi lain ingin mengejar ketertinggalannya itu, kehadiran pegawai baru menjadi strategis adanya.

Keterpurukan Bea dan Cukai sekarang ini, bisa jadi dikarenakan oleh keberadaan Sumber Daya Manusia nya. Institusi ini mungkin telah disesaki pola pikir  dan perilaku yang serba pragmatis. Di sinilah kehadiran pegawai baru menemukan maknanya. Pegawai baru sebagai Sumber Daya Manusia baru Bea dan Cukai diharapkan mampu menutup lubang ataupun memperbaiki peran pegawai lama yang kurang sesuai.

Namun kehadiran pegawai baru tidak serta merta diikuti tereliminasinya pegawai lama yang berperilaku kurang sesuai. Dan di sinilah acap kali harapan terhadap pegawai baru, kandas.

Kenyataan bahwa korupsi-dalam segala pengertiannya- telah menjadi budaya dalam birokrasi kita, termasuk dalam tubuh Bea dan Cukai, menghadirkan dilema bagi pegawai yang baru bergabung. Secara umum, opini yang ada di keseharian kantor kita adalah Bea dan Cukai itu institusi yang ‘basah’. ‘Basah’ seakan menjadi kebenaran, dan bagi yang tidak mau ’basah’ berarti mengingkari kebenaran (salah). Inilah yang menyulitkan para pegawai baru. Mereka memasuki suatu wilayah baru, di mana mereka ‘dipaksa’ untuk terlibat di dalamnya, untuk menjadi penghuni yang berpola pikir sama dengan penghuni lama. Dengan statusnya yang baru, bisa saja mereka sungkan menolak atau takut dikucilkan.

Belum lagi ketika mereka dihadapkan pada ‘falsafah’ yang sering diberikan para pegawai lama terhadap pegawai baru, yakni “ngono yo ngono tapi ojo ngono” (gitu ya gitu tapi jangan keterlaluan). Jika hal ini dijadikan pegangan pegawai baru dalam memasuki iklim kerja yang ada di Bea Cukai, tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Ungkapan ini sangat klise, multi interpretatif, dan really debatable. Mungkin tadinya ungkapan ini dimaksudkan agar pegawai baru dapat beradaptasi dengan lingkungan kerjanya sehingga tidak kaku dalam berinteraksi sosial. Namun, ungkapan ini lebih bisa (baca: pantas) diartikan bahwa kita boleh berbuat begitu (korupsi dll) tapi jangan banyak-banyak (keterlaluan).

Kita tidak menafikan jika bekerja di lingkungan yang basah kita ibarat montir. Walau sedikit, pasti baju kita akan terkena oli, dengan atau tanpa sepengetahuan kita. Akan tetapi, bukan berarti belum apa-apa kita sudah mengotori baju kita dengan oli, walaupun sedikit juga.

Jika hal ini diwariskan secara terus-menerus, akan menjadi suatu pola kaderisasi pegawai ‘basah’ yang sistematis. Tradisi semacam ini jelas mempersulit upaya pembentukan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang bersih. Menjadi semakin tidak mengherankan ketika survei menempatkan kita sebagai institusi paling korup se Indonesia.

Sumber Daya Manusia sebagai penggerak sebuah organisasi, ketika keberadaannya terancam, menjadi prioritas utama hal yang harus dibenahi. Kita dapat belajar dari kegagalan Polri dalam menetapkan target 100 hari pemerintahan SBY kemarin. Polri ‘ditertawai’ publik ketika tidak mendahulukan pembenahan internal aparatnya dalam program tersebut. Dan menjadi kenyataan karena perubahan yang dialami Polri tidaklah substansial.

Bea dan Cukai di era global akan lebih menonjol dalam peran trade facilitating– selain keseimbangan di sisi pengawasan-, mengingat meningkat pesatnya volume perdagangan antar negara. Dunia perdagangan membutuhkan prosedur kepabeanan yang cepat. Hal ini menghadirkan tuntutan bagi Bea dan Cukai untuk menampilkan kinerja yang profesional, transparan, sekaligus clean. Kesemua itu hanya dapat terwujud dengan dukungan Sumber Daya Manusia yang kompeten pula. Di era global ini, tentu sudah tidak lucu lagi ketika perilaku kurang sesuai masih saja ditampilkan.

Agenda pertama bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sekarang ini adalah memutus mata rantai kaderisasi pegawai ‘basah’ sebagaimana tersebut di atas. Sedang kedua, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus menjaga dan mengarahkan pegawai baru, yang dalam kondisi ekstrem, menjadi satu-satunya harapan ke depan. Kemudian Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga harus mengasumsikan bahwa pegawai baru adalah kertas putih , yang belum ternoda satu titik pun tinta. Ini diperlukan dalam upaya pembinaan mental selanjutnya. Adapun ketika dari input  tersebut sudah dari sononya terpola hal yang kurang sesuai, dapat dilakukan penertiban secara tegas.