Jono, sebut saja demikian, belum genap setengah tahun didaulat menjadi ketua di organisasi kemahasiswaannya. Setelah mengikuti seminar tentang sinergi yang saya sampaikan, dia justru mengeluh. Pasalnya, dia menjadi sangat sibuk, hampir semua pekerjaan dia yang menangani. Saat menyampaikan keluhannya, dia pun diburu waktu, karena harus membuat backdrop untuk rapat kerja besok hari. ”Lho anda tidak membuat kepanitiaan untuk rapat kerja itu?”, tanya saya. ”Sudah, tapi nggak ada yang mau bekerja..”. Lalu dia melanjutkan, ”Saya bingung, harus marah dari mana?”. Marah? ”Eit, tunggu dulu…”

Keterangan yang saya dapat memang cukup untuk mengerutkan dahi. Organisasi Jono ternyata terlalu hirarkis, birokratis, dan dibayang-bayangi senioritas tidak perlu. Anggota tim tidak pernah diajak membuat keputusan tentang jalannya organisasi. Rapat sih diajak, tapi yang ada hanya: kita ada kegiatan ini, kita bentuk panitia, kamu bagian ini, tugasnya ini, dst. Pas ada yang bertanya, untuk apa kita mengadakan kegiatan ini, jawaban yang ada, ”Ini kan sudah tradisi organisasi kita”, atau, ”Sebelum kita juga melakukannya”, atau malah, ”Apa urusanmu? Ketuanya kan saya?”. Wajar kalau anggotanya malah menghindar. Mereka hanya merasa dimanfaatkan. Tapi Jono juga merasa tidak berdaya. Mantan pengurus terlalu mengendalikan, katanya. Saya hanya geleng-geleng kepala saja.

Sehari sebelum tulisan ini dibuat, saya diundang untuk memfasilitasi sekumpulan organisasi kemahasiswaan tentang bagaimana cara membangun tim. Saat mengeksplorasi keadaan mereka, dari 5 organisasi saja, terkumpul 28 permasalahan dengan hanya 1 ‘berita gembira’. Padahal rata-rata masa kepengurusan mereka belum cukup setahun. Corak permasalahannya klasik, seputar kerja tim yang buruk, yang berimbas ke mana-mana: kinerja tidak optimal, yang bekerja ketuanya saja, hasil mengecewakan, saling menyalahkan, dan seterusnya.

Sejatinya, organisasi atau tim diperlukan ketika tujuan yang kita inginkan tidak dapat dicapai dengan kerja individu. Sehingga dengan berkumpulnya kita dalam tim, semestinya akan terkumpul kekuatan dari kekuatan-kekuatan individu yang berkumpul tersebut. Dan ketika kekuatan yang terkumpul itu terlipatgandakan, itulah yang disebut sinergi. Secara sederhana, menurut Stephen Covey, sinergi adalah ketika jumlah keseluruhannya lebih besar dari jumlah bagian-bagiannya. Jadi 1+1 dalam sinergi tidak sama dengan 2, tetapi bisa 4, 10, 50, 100, 3000, atau lebih besar lagi.

Agar bisa sinergi, diperlukan keterlibatan total dari semua anggota tim untuk mengaktualisasikan seluruh potensinya. Namun ini tidak mudah, kebanyakan organisasi justru membelenggu potensi anggotanya. Agar tidak membelenggu, mesti tercipta lingkungan yang kondusif dengan syarat satu hal: high level of trust. Tingginya tingkat kepercayaan berbanding lurus dengan tingginya tingkat komunikasi. Semakin kita saling percaya dengan seseorang, semakin mudah kita berkomunikasi dengannya. Dengan semakin mudah berkomunikasi, kita semakin mudah berkompromi, yang pada selanjutnya semakin mudah bersinergi.

Untuk mendapatkan kadar kepercayaan yang tinggi, setiap anggota tim harus saling memahami satu dengan yang lain. Ini mengantarkan kita pada cara pandang yang benar terhadap keberhasilan sebuah tim, bahwa personil tim tanpa kecuali, yang sering disebut SDM-tapi saya tidak setuju, adalah bagian terpenting. Semua personel dalam tim yang memang manusia, harus tetap diwongke (‘dimanusiakan’). Penting untuk diketahui bahwa setiap manusia memiliki cara pandang masing-masing, yang membuatnya melihat dunia sebagaimana mereka dikondisikan untuk melihatnya, bukan sebagaimana dunia adanya. Dan ini tidak logis, tapi psikologis. Dalam lingkungan yang kondusif tadi, secara gradual, proses penciptaan sinergi dalam tim hendaknya dimulai dengan sinergisasi intrapersonal setiap anggota tim dahulu. Setelah terwujud sinergi intrapersonal anggota tim, baru disemaikan secara antar personal.

Sebelum Jono pulang, saya beritahu bahwa kalau backdrop tidak juga dibuat, solusinya bukan anda yang lalu membuatkan. Biarkan saja. ”Tapi nanti senior mantan pengurus marah?”. Tuh kan, senior lagi? (Ada apa sih dengan mereka?) ”Santai saja”, saya bilang. ”Yang penting, selamatkan masa depan organisasi anda. Mulai lagi dari awal. Ciptakan lingkungan saling percaya yang bagus, lalu optimalkan potensi anggota anda. Libatkan mereka dalam setiap detail langkah yang akan organisasi anda jalani. Ciptakan sinergi. Jangan terlalu banyak mengatur ini-itu. Anggota anda adalah aset terpenting.”

Kemudian dengan gontai Jono melangkah pulang. Baru beberapa langkah, dia berbalik, ”Tapi kalau senior mantan pengurus…”. Waduh.

Artikel ini pernah dimuat dalam kolom Resonansi pada sebuah koran lokal di Sulawesi Tenggara pada medio 2006.