Mengubah layanan manual ke elektronik—apalagi ke dalam satu pintu—di negeri dengan budaya birokrasi sekental Indonesia bukanlah hal yang mudah. Dia tidak hanya memerlukan perubahan dalam tataran sarana, prasarana, regulasi, dan hal-hal teknis semacamnya, tetapi juga memerlukan perubahan di tataran yang paling sulit diintervensi oleh semua perangkat teknis: pola pikir. Diperlukan kerendahan hati untuk membuka diri dan kemudian dengan penuh kesadaran bersedia mengintegrasikan diri ke dalam sebuah sistem dan budaya birokrasi yang sama sekali baru. Belum lagi soal cerita-cerita lama tentang meriahnya sisi gelap dalam layanan pemerintah itu. Cerita lama tentang bahwa kadang rekomendasi sebuah instansi bukanlah tentang sejauh mana regulasi dipenuhi, tetapi tentang seberapa sanggup pengguna jasa mau memenuhi sisi gelap yang meriah itu. Mengubah layanan manual ke elektronik dan mengintegrasikannya ke dalam satu pintu memerlukan prasyarat perubahan dramatis semacam itu, di berbagai kementerian dan lembaga, tidak terkecuali Kementerian Keuangan sebagai tuan rumahnya.
Membangun Indonesia National Single Window adalah membangun perubahan-perubahan di semua sektor yang terlibat, kemudian mengintegrasikannya ke dalam sistem yang pada akhirnya menawarkan sebuah budaya birokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baru. Membangun INSW adalah perkara memicu, memacu, dan menghubungkan perubahan. Proses panjang sebuah transformasi ide besar menjadi kenyataan itu, selain memerlukan semangat yang sepadan dalam jiwa dan paradigma yang selaras dalam pikiran, juga memerlukan kontinuitas. Menurut riset Dr. Jim Collins (University of Colorado) dalam bukunya Good to Great, kata kunci kesuksesan transformasi yang hebat adalah koherensi: adanya pertalian yang harmonis antar episode dalam organisasi tersebut. Kepemimpinan hampir pasti akan silih berganti, namun kesinambungan gagasan dan peran yang hendak diwujudkan harus tetap terpelihara dengan baik.