Dalam ilmu manajemen konvensional, keberadaan karyawan ataupun anggota organisasi dianggap sama dengan keberadaan aset perusahaan atau organisasi lainnya. Manusia dianggap sama dengan mesin, kantor, keuangan, ataupun yang lain. Makanya muncul istilah Sumber Daya Manusia, yang disamasebangunkan dengan Sumber Daya Alam. Pendekatannya pun sama seperti pendekatan terhadap mesin, kantor, atau uang tadi, yakni efisiensi. Semakin irit semakin baik, karena menekan biaya. Wajar jika kemudian kita sering mendengar rendahnya upah karyawan, sementara kerjanya ‘rodi’. Atau anggota organisasi yang keberadaannya hanya dianggap seperti mesin, disuruh sana-sini tanpa boleh berpendapat, apalagi mengambil keputusan.
Padahal kalau kita lihat, manusia lah yang paling berperan dalam suatu organisasi. Manusia lah yang menggerakkan aset fisik seperti mesin, kendaraan, juga uang. Meski teknologi sudah kian canggih, pengambilan keputusan tetap pada manusia. Belum lagi kreativitas, motivasi, tekad, atau semangat, yang hanya dimiliki manusia. Manusia lah yang dapat memiliki pengetahuan. Mesin, mana punya?
Oleh karenanya, terlebih di era kompetisi sekarang ini, organisasi harus memandang manusia yang ada di dalamnya sebagai aset terpenting. Keberadaannya jangan dilihat dengan kaca mata upah, tapi nilai. Pendekatannya pun bukan lagi efisiensi, melainkan efektivitas. Pelatihan atau pengembangan karyawan itu bukan biaya, tapi investasi. Cara pandang seperti inilah yang akan mendasari kesuksesan organisasi manapun.
Seperti Microsoft, yang disebut New York Times only factory asset-nya adalah imajinasi para pegawainya, seperti itulah semestinya corak organisasi kita. Kalau dulu faktor keunggulan organisasi adalah aset fisik yang dimiliki, sekarang dan nanti faktor keunggulan organisasi adalah pada aset pengetahuan yang dimiliki. Dulu the haves dan the haves not, kini dan nanti the knows dan the knows not. Dan pengetahuan akan menjadi aset ketika sinergi telah membudaya.
Sinergi? Ya, seperti dua tulisan saya sebelumnya, tema tulisan ini memang masih sama. Di Sinergi, saya menyebut bahwa semua personel dalam tim yang memang manusia, harus tetap ’dimanusiakan’. Di Sinergi (2) saya pun mengulanginya lagi pada Jono, bahwa anggota tim adalah aset terpenting. Tanpa bermaksud berlebihan, tulisan ini pun menegaskan lagi hal tersebut.
Kemudian, tanpa pula bermaksud membebek pada sindrom bla bla bla juga manusia, kayaknya emang perlu ditegaskan di sini bahwa karyawan atau pun anggota organisasi juga manusia, maka ’manusiakanlah’ mereka..
Artikel ini pernah dimuat dalam kolom Resonansi pada sebuah koran lokal di Sulawesi Tenggara pada medio 2006.