Jika pembaca pernah singgah di bandara Woltermonginsidi Kendari yang baru, yakni dengan fasilitas internasional, pembaca akan mendapati pos bertuliskan Bea Cukai garis bawah CUSTOM (dari semestinya CUSTOMS). Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ini kelalaian waktu membuat, atau ketidaktahuan yang membuat? Jelas, saya tidak tahu. Apakah hal ini ada kaitannya dengan beberapa pengalaman berikut, saya juga tidak tahu.

Ceritanya begini, suatu hari saya pergi ke sebuah toserba di kota Kendari untuk membeli beberapa kebutuhan. Karena terburu-buru, saya tidak melepas rompi bertuliskan CUSTOMS yang saya kenakan. Sampai saya menyelesaikan pembayaran, penjaga toko yang dari tadi tersenyum-senyum ramah kepada saya akhirnya menyapa, “Bapak, kerja di Polda, ya?”. Saya hanya tersenyum bingung mendengarnya. ”Saudara saya ada yang bekerja di sana lho Pak”, katanya lebih lanjut sambil terus bolak-balik memandangi logo Bea Cukai di dada saya. Rupanya dia mengira logo Bea Cukai itu sebagai logo Kepolisian, dan saya yakin dia tidak tahu apa arti kata CUSTOMS yang melingkari logo itu.

Pernah juga saya naik ojek dari rumah ke kantor dengan seragam coklat. Karena mas ojeknya diam, saya asumsikan dia sudah tahu tujuan saya. Tapi ternyata meleset. Sampai di depan kantor, ojek terus melaju. ”Stop, stop mas, udah di sini aja”. Mas ojeknya justru heran, ”Saya kira bapak kerja di Lapas?”.

Rekan sekantor saya lain lagi. Pernah suatu hari dia naik pete-pete (istilah untuk angkot di Kendari) menuju kantor, tapi malah mau diturunkan di depan Polres. Pernah juga saat dia mengawal kapal bermuatan barang ekspor, di tengah laut bersua dengan rombongan Polairud. Begitu bertemu, anggota Polairud langsung hormat dan menyapa, ”Dari Angkatan Laut, ya Mas?” Di kesempatan berbeda, rekan saya yang lain malah asal menjawab, ”Kerja di pelabuhan, markirin kapal..”

Harus jujur diakui, belum banyak masyarakat kita yang tahu tentang eksistensi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Teman saya yang mahasiswa berprestasi di perguruan tinggi negeri andalan Indonesia di Jakarta saja tidak tahu apa itu Bea Cukai. Apalagi masyarakat awam di daerah yang agak jauh dari ibukota?

Di Kendari, ada sebagian masyarakat yang tahu, tapi sebagian besar tidak. Sebagian kecil ada yang masih mengenalnya sebagai douane, tapi kok seragamnya sudah nggak sangar lagi, katanya. Ada juga sebagian masyarakat yang tahu kantornya, tapi tidak tahu apa tugasnya. Seperti suatu hari pernah orang datang ke kantor lalu menanyakan harga tiket kapal Kendari-Surabaya. Hari yang lain ada orang yang datang lagi menanyakan jadwal keberangkatannya.

Melihat kondisi semacam ini, kami berusaha untuk tidak tinggal diam. Melalui upaya personal yang bisa dilakukan, kami mengenalkan Bea Cukai ke masyarakat di setiap kesempatan yang mungkin. Dengan hal-hal yang sederhana saja. Misalnya disempat-sempatkan ke keramaian ketika masih menggunakan seragam. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi semata-mata mengenalkan. Saya tidak tahu cara ini efektif atau tidak. Setidak-tidaknya sering kemudian orang menjadi ingin tahu. ”Dari instansi mana, mas?”, ”Apa itu customs?”, ”Kok Departemen Keuangan pakai seragam?”, ”Kerjanya ngapain?’, dan banyak lagi pertanyaan yang menunjukkan ketidak dan ingin tahuan masyarakat.

Dulu pernah juga saya coba mengenalkan Bea Cukai dengan teknik, meminjam istilah Rhenald Kasali dalam Change!, kontras, yakni dengan bersepeda ke kantor. Selain berkampanye hemat BBM (waktu itu sedang marak-maraknya kenaikan harga BBM), saya melakukannya untuk mengenalkan Bea Cukai ke masyarakat. Minimal kan orang jadi penasaran, siapa sih yang suka naik sepeda itu, dari instansi mana, apa tugasnya, dan seterusnya, pikir saya waktu itu. Tapi ternyata salah sasaran. Saya malah lebih sering mendapat sorak sorai dari gadis-gadis dan ibu-ibu di sepanjang perjalanan, hampir setiap hari. Ada yang ngeledek lah, minta diboncengin lah, dan sebagainya. Karena ’tekanan’ terlalu besar, ditambah banyak bengkel yang tidak menerima ’pasien’ sepeda, akhirnya sepeda onthel gaya Oemar Bakri saya pun jual kembali.

Angin segar kemudian datang. Institut Teknologi Kelautan (ITK) Kendari melayangkan surat permohonan pengajar ke KPBC Kendari. Saya dan teman-teman pun menyambutnya, dan diizinkan untuk mengajar Pengetahuan Bea Cukai di sana. Belum lama mengajar di ITK, tawaran dari Akademi Ketatalaksanaan Pelayaran Niaga (AKPN) Kendari juga datang. Kami pun antusias lagi menyambutnya. Sampai tulisan ini dibuat, terhitung sudah empat semester berturut-turut kami mengajar dan memperkenalkan Bea Cukai di sana. Dengan mengenalkan Bea Cukai ke kalangan kampus, saya pikir Bea Cukai akan lebih cepat dikenal di kalangan yang lain.

Fakta bahwa masyarakat belum banyak yang mengenal keberadaan institusi kita memang terkadang terasa menyedihkan. Kalau sudah begini, seakan-akan hingar bingar pesatnya perdagangan dunia sekarang dan perlunya modernisasi kepabeanan, masih terlalu jauh di awang-awang bagi masyarakat kita. Mungkin perlu diterbitkan buku ”Bea Cukai untuk Pemula”. Tujuannya juga tidak muluk-muluk. Setidaknya nanti orang tidak lagi salah membeli tiket kapal di kantor kita.