“Kerja di mana mas?” Sepenggal kalimat akhirnya terlontar, setelah hampir dua jam lamanya kami saling mengunci mulut. Padahal dari awal kami duduk berdampingan di pesawat yang sama.
“Bea Cukai, mbak.” jawab saya pelan.
Meski seperti sedang mengulum batu, kami pun lalu melanjutkan obrolan. Kami berangkat dari Jakarta menuju Kendari. Si mbak adalah karyawati pada salah satu asuransi perbankan di kawasan Sudirman, Jakarta. Dia melancong ke Kendari untuk mengunjungi saudaranya, sedangkan saya (Sigit) berangkat bertugas setelah beberapa hari cuti pulang kampung. Menjelang landing, kami pun akhirnya bertukar kontak.
Tiga hari berselang, sampai saat ponsel saya berdering, “Eh, besok aku mau balik nih. Hari ini aku mampir, sekalian check in tiket di kantormu ya?”
Saya langsung terdiam menelan ludah. Bukan tak terima karena si mbak yang mau pulang, tetapi karena persepsi keliru si mbak yang seorang profesional di ibu kota tentang Bea Cukai. Ingatan saya langsung terbang ke beberapa diskusi dengan teman-teman dari kampus lain selama mahasiswa dulu. Waktu itu saya belum demikian terkejut atas ketidaktahuan mereka tentang Bea Cukai. Tapi sekarang? Jangan-jangan masih banyak penduduk Indonesia yang belum memahami apa itu Bea Cukai?
Selama di Kendari, saya dan teman-teman memang kerap disalahmengerti. Pernah suatu hari orang mengira kalau kami adalah rombongan TNI Angkatan Laut. Lain hari lagi orang mengira kami petugas Lapas, pernah juga mengira kami agen tiket Pelni, Imigrasi, sampai staf kelurahan. Saat itu kami memaklumi,”Ah mungkin karena ini di luar Jawa.” Hingga akhirnya kami mutasi kerja ke Kudus serta Jakarta, dan ternyata masih menemui hal yang sama. Lucunya, baik di Jakarta maupun Kudus, kami dipersepsi keliru dengan persis sama: dikira satpam! Mungkin karena warna seragamnya yang senada ya? Waduh!