Menjawab pertanyaan dalam judul di atas barangkali mudah. Jawabannya Unit Kerja Kepatuhan Internal (UKKI), bukan? Belum tentu. Berdasarkan Perdirjen No. 23/BC/2010, salah satu fungsi UKKI memang melakukan koordinasi penyusunan rencana kerja, rencana strategik, dan laporan akuntabilitas kinerja DJBC, serta melakukan evaluasi kinerja, namun bukan berarti UKKI menjalankan fungsi manajemen strategi DJBC. Mengelola strategi berbeda sama sekali dengan menyusun dokumen perencanaan strategi.
Ketidakjelasan Birokrasi
Menjelaskan cara kerja birokrasi pada dasarnya sederhana. Kita dapat menggunakan analogi tujuan-cara. Bahwa kita harus menentukan tujuan dahulu, baru kemudian menentukan cara untuk mencapainya. Kita tentukan dulu mau ke mana, baru tentukan mau naik apa. Tidak mungkin sebaliknya. Karena birokrasi dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu sebagaimana tertuang dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945, setiap unit birokrasi sendiri pasti memiliki tujuan yang lebih spesifik untuk dicapai. Katakanlah pernyataan visi unit tersebut. Baru kemudian unit itu merumuskan berbagai cara untuk mencapai visinya. Cara pencapaian visi dalam gambaran besar dapat kita sebut sebagai strategi. Kemudian strategi tersebut dirinci menjadi cara-cara yang lebih operasional/taktis. Visi dan strategi ini menjadi bingkai sekaligus nyawa dari setiap program kerja dan kegiatan operasional. Pekerjaan sehari-hari seorang pegawai negeri semestinya merupakan bagian tidak terpisahkan dari visi dan strategi tersebut.
Namun kenyataannya tidak seperti itu. Acapkali para pegawai negeri tidak mengetahui apa visi dan strategi institusi tempat dia bekerja. Bisa karena visi dan strategi tersebut yang hanya formalitas, atau visi dan strategi tersebut masih abstrak, atau keduanya. Karena secara riil mereka tidak dapat melihat arah besar pekerjaannya, yang terjadi hanyalah hiruk pikuk dan sibuk tak menentu. Birokrasi menjadi tidak lebih dari sekedar rentetan tata usaha, surat menyurat, dan beban klerikal saja. Ketiadaan atau ketidakjelasan visi dan strategi, membuat birokrasi hanya menjadi sebuah rutinitas yang mekanis, pekerjaan yang itu-itu saja, dan tidak jelas akan mengonstruksi apa.
Ketidakjelasan birokrasi tampak pula pada efektivitas kinerjanya. Selain tidak pernah mengukurnya secara serius, birokrasi juga kerap mengabaikan apakah yang dia kerjakan efektif secara strategis atau tidak. Perangkat akuntabilitas kinerja seperti LAKIP atau survei kepuasan pengguna jasa, tidak cukup mampu untuk menjawab efektivitas tersebut. Bagaimana mungkin kita mengukur efektivitas kinerja unit pemerintah yang bertugas menghalau penyelundupan narkotika, dengan sebatas menilai kenyamanan toilet atau tempat parkir kantornya saja?
Birokrasi kerap tidak mengaitkan visi dengan strategi, dan tidak mengaitkan strategi dengan kerja operasional. Pekerjaan birokrasi seakan bukan merupakan bagian dari strategi yang jelas untuk mencapai sesuatu. Lebih jauh, birokrasi tidak pernah mengukur efektivitas visi dan strategi yang mereka lakukan, terutama terkait dengan tujuan utama dibentuknya birokrasi itu sendiri. Ketidakjelasan ini adalah perkara tidak adanya cara berpikir strategis dalam menjalankan birokrasi, yang berimbas pada tidak dijalankannya manajemen strategi birokrasi secara benar (dan apalagi formal).
Diskoneksi Strategi dengan Operasi
Tidak hanya birokrasi di Indonesia, Robert Kaplan dan David Norton juga menemukan ketidakjelasan serupa pada berbagai organisasi di dunia[i]. Dalam survei yang mereka lakukan pada tahun 1996, tercatat hanya 40% organisasi yang mengaitkan anggaran dengan strategi, dan lebih dari 90% karyawan yang tidak memahami strategi organisasi mereka, termasuk organisasi yang menerapkan Balanced Scorecards (BSC), konsep yang mereka temukan.
Kaplan dan Norton menemukan bahwa permasalahan utama organisasi adalah tidak sinkronnya antara strategi dengan pekerjaan operasional. Strategi visioner yang tidak dikaitkan dengan tata kelola operasi yang baik (good governance) tidak akan dapat diterapkan. Seperti juga keunggulan operasi yang bisa berupa efisiensi biaya, kecepatan pelayanan, atau SOP yang ringkas, hanya akan menjadi rutinitas mekanis jika tidak dipandu oleh strategi globalnya.
Diskoneksi ini disebabkan oleh terlalu banyaknya metode perencanaan strategi dan juga perbaikan operasi di kedua sisi[ii]. Sementara tidak ada satupun konsep yang mampu mengintegrasikan berbagai perangkat ilmiah tersebut. Manajemen strategi versi Kaplan dan Norton yang disusun setelah survei itu, adalah solusi yang mereka tawarkan.
Manajemen strategi adalah proses menyusun dan merencanakan strategi, menyelaraskan organisasi dengan strategi, merencanakan operasi, serta memantau dan menyesuaikan operasi dan strategi. Idealnya fungsi ini dijalankan secara formal oleh unit yang bertanggung jawab khusus untuk itu. Kaplan dan Norton menyebut unit itu sebagai office of strategy management, atau unit manajemen strategi.
Berpikir strategis dan menjalankan manajemen strategi berawal dari hal yang mudah dan sederhana, tidak lebih dari sebuah analogi tujuan-cara. Namun ketika hal yang sederhana tersebut kita abaikan, dampaknya dapat mengular ke mana-mana, menimbulkan kompleksitas yang secara kasat mata bisa jadi tampak baik-baik saja. SAKIP yang menjadi sistem andalan kita saat ini (dan semua unit birokrasi lain) ternyata belum cukup membantu.
Tanpa manajemen strategi, saat ini capaian kinerja kita bisa jadi selalu dalam angka yang positif (artinya keadaan baik-baik saja), namun apakah kita sudah memenuhi apa yang paling penting di benak masyarakat (yang memberikan amanat kepada kita) atas keberadaan dan peran DJBC? Dari mana kita tahu?
[i] Lihat Kaplan dan Norton. Execution Premium.
[ii] Ibid. Kaplan dan Norton menyebutkan perangkat seperti analisis SWOT, kompetensi inti, blue ocean, positioning, MBO, TQM, six sigma, ABC, kaizen, dan sebagainya, termasuk BSC sendiri.