Pada saat ini, di ruang diskusi manapun, ketika berbicara mengenai rokok, pastilah tidak akan lepas dari kerangka berpikir polarisasi: mereka yang pro dan mereka yang kontra.  Dari kutub yang mendukung, berargumen bahwa rokok (dalam hal ini kretek) merupakan warisan budaya bangsa yang patut dilestarikan, keberadaan industri rokok  memberi lapangan kerja yang luas, serta industri rokok menyumbang penerimaan negara yang signifikan. Sementara dari kutub yang kontra, berargumen bahwa rokok adalah barang yang membahayakan kesehatan manusia, kenyataannya buruh rokok dibayar terlalu murah (apalagi dibandingkan dengan biaya iklan rokok), serta besarnya cukai yang diterima negara tidak sebanding dengan ongkos kesehatan yang harus ditanggung.

Pemerintah mencoba mengambil jalan tengah dengan menelurkan Roadmap Industri Hasil Tembakau 2007-2025. Peta jalan tersebut berakhir pada kondisi: produksi rokok sebesar 260 miliar batang setahun, tercipta teknologi tembakau rendah nikotin, dan berkurangnya BKC ilegal. Namun Roadmap tersebut juga menuai kontroversi. Pihak pro kesehatan mempertanyakan prioritas kesehatan seperti apa jika rokok tetap diproduksi dalam jumlah besar. Sementara yang lain mempertanyakan nasib industri rokok kecil yang justru semakin tidak bisa bersaing.

Saat kita mengalami dilema atau kebuntuan berpikir akan solusi suatu permasalahan, itu adalah tanda bahwa cara berpikir yang kita pakai sekarang ini tidaklah cukup. Edward de Bono mengatakan bahwa cara berpikir itu semacam perangkat lunak bagi otak kita. Dilema adalah seperti saat Microsoft Word kita paksa untuk mengedit video. Seperti yang kita ketahui, saat kita mengerjakan sebuah soal di bangku sekolah dulu, kita dikondisikan bahwa hanya ada satu jawaban yang benar, selebihnya salah. Kondisi ini membentuk cara berpikir hitam-putih pada otak kita. Jika tidak hitam maka itu putih. Seolah tertutup untuk biru, merah, kuning, dan warna yang lain. Dilema adalah saat kita tidak tahu mana yang benar, hitam atau putih, dan menutup kemungkinan warna yang lain. Itulah yang terjadi di ruang diskusi manapun, saat kita berpikir dan berbicara mengenai rokok.  

Jika kita telaah lebih dalam, di antara kutub-kutub polemik ini terdapat missing area yang masih dibiarkan begitu saja. Area itu adalah pemahaman akan hakikat cukai. Setiap kubu saat ini abai terhadap hakikat ini. Mereka cenderung melihat cukai sebagai pungutan negara an sich, yang dianggap wajar dilakukan oleh negara kepada rakyatnya. Atau jika kita coba tanyakan ke masyarakat, belum tentu mereka memahami hakikat cukai juga.

Hakikat cukai yang bermaksud untuk membatasi konsumsi masyarakat dan mengendalikan produksi dari industri, jika dipahami oleh setiap kubu bahkan oleh masyarakat yang masih steril opininya, semestinya bisa mengurangi polemik yang terjadi. Dari kubu kontra rokok akan lebih bijak melihat peredaran rokok yang memang telah diupayakan pemerintah untuk dibatasi, sehingga mengalihkan energinya ke upaya edukasi yang lebih ramah dan tidak bernada kebencian. Kalangan pengusaha akan lebih memahami bahwa usaha yang mereka lakukan adalah tidak sepenuhnya bermaslahat, ada kepentingan bersama yang sebaiknya juga diperhatikan. Cukai juga tidak dilihat secara naïf sebagai pendapatan negara yang besar, tapi dilihat juga bahwa besarnya itu juga untuk melindungi masyarakat. Bagi masyarakat yang masih steril opininya, pemahaman akan cukai dapat membentuk persepsi tentang rokok secara bijak.