“Dostoevsky gives me more than any scientist, more than Gauss.” –Albert Einstein

Terus terang saya baru mendengar nama Fyodor Dostoevsky saat ngubek-ubek mencari referensi guna memfasilitasi Hypnotic Writers Camp beberapa waktu yang lalu. Entah karena saya yang kuper atau gimana, yang kerap saya dengar tentang sastrawan Rusia hanyalah Tolstoy.

Salah satu referensi yang saya baca adalah First Five Pages karangan Noah Lukeman. Di buku tersebut, Lukeman bercerita sekilas tentang Dostoevsky. Awalnya saya masih tidak peduli, hingga bertemu kalimat: “Ketika Sang Tsar membaca House of The Dead milik Dostoevsky, ia menangis, mencabut larangan, dan mengizinkan karya tersebut diterbitkan”.

Dostoevsky menulis House of The Dead saat mendekam di penjara Siberia. Tempat di mana dia dilarang membaca apapun, kecuali kitab suci. Dostoevsky ditangkap karena terlibat dalam penentangan rezim sosialisme atheis Tsar Nikolai I. Terjadi sekitar tahun 1840-an. Kita tahu, bagaimana perlakuan rezim Tsar di Rusia saat itu kepada warganya. Salah satu kebijakannya adalah melarang terbit buku hasil karya narapidana. Hingga terjadilah peristiwa dalam kalimat yang saya kutip di atas.

Karya Dostoevsky yang menonjol selain House of The Dead adalah Notes from Underground dan Poor Folk. Yang disebut terakhir adalah karya pertama Dostoevsky yang mencuatkan namanya.

Ternyata memang saya yang ketinggalan zaman. Dostoevsky adalah nama yang memengaruhi penulis-penulis besar dunia di abad ke-20. Termasuk Ernest Hemingway dan Friedrich Nietzsche. Nama terakhir pernah menulis tentang Yesus: “Sayang tidak ada Dostoevsky di sekitar dia”.

Yang menarik dari perjalanan hidup Dostoevsky adalah (lagi-lagi) dia menghasilkan karya besarnya di penjara. Selain Dostoevsky, tentu Anda tahu, banyak karya besar lahir dalam penjara. Jean Genet terpaksa menulis di atas kertas toilet selama bertahun-tahun di penjara. Ibnu Taimiyyah menulis fatwa-nya di penjara. La Tahzan yang populer juga ditulis saat ‘Aidh Al Qarni dibui. Sayyid Quthb merangkai tafsir Fi Zhilalil Quran di balik jeruji besi. Pramoedya Ananta Toer melahirkan Perburuan di penjara Bukit Duri, lalu tetralogi legendarisnya di Pulau Buru. Hamka mulai menulis tafsir Al Azhar saat dikerangkeng Soekarno. Saya tidak ingin meyakini bahwa untuk menghasilkan karya yang besar, kita perlu masuk penjara dulu (Jika memang itu syaratnya, tentu akan lahir karya dari hampir 150 ribu-an narapidana di Indonesia saat ini).

Pramoedya pernah bertutur bahwa pengalaman intensif seorang penulis berpengaruh signifikan terhadap suatu karya. Dia menyebutnya sebagai pesangon. Nasjah Djamin juga menuturkan hal serupa. Pengalaman akan suatu peristiwa oleh si penulis akan berpengaruh besar ke karya yang dihasilkan. Djamin mengatakan penulis yang tidak terlibat dalam revolusi, lalu menulis tentang revolusi, tulisannya akan hambar, dan pembaca segera tahu. Dalam perspektif ini, penjara adalah konteks bagi Dostoevsky dan lainnya dalam mendapatkan pesangon atau pengalaman intensif tadi. Konteks tersebut juga relevan pada masanya masing-masing: adanya pergulatan politik dan revolusi.

Tantangan bagi kita yang ingin menghasilkan karya besar adalah menemukan pengalaman intensif sebagai pesangon karya kita kelak. Dari sini kemudian saya sepakat, bahwa penulis bukanlah mereka yang menghasilkan tulisan semata-mata karena nganggur atau males; atau pemurung yang suka menggurui; tetapi mereka yang dalam kesehariannya memang terlibat dalam aktivitas yang ditulisnya.

Sebagai oleh-oleh, mau baca House of The Dead karya Dostoevsky yang membuat Tsar Nikolai I menangis? Klik saja di sini.