PMK 191 adalah peraturan tentang perubahan atas PMK Nomor 200/PMK.04/2008 tentang Tata Cara Pemberian, Pembekuan, dan Pencabutan NPPBKC untuk Pengusaha Pabrik dan Importir Hasil Tembakau. Poin utama yang menarik dalam PMK 191 ini adalah pengaturan tentang hubungan istimewa antar pengusaha pabrik hasil tembakau (sister company). Pertimbangannya adalah untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif dan untuk mengamankan penerimaan negara dari upaya transfer pricing yang berujung pada penghindaran tarif cukai. Bagaimana meneliti dan menetapkan hubungan istimewa ini, Direktur Jenderal telah mengeluarkan Perdirjen Nomor Per-39/BC/2012 tanggal 12 Juli 2012 tentang Penetapan Hubungan Istimewa Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau.

Hubungan istimewa adalah keterkaitan modal, penguasaan manajemen, dan atau bahan baku antara pabrik yang satu dengan pabrik yang lain. Dalam aspek permodalan, misalnya seorang pengusaha pabrik rokok menanamkan modal setidaknya sebesar 25% pada pendirian pabrik rokok yang lain, atau mendirikan pabrik rokok baru atas nama orang lain, maka keduanya dapat disebut sebagai hubungan istimewa. Dalam aspek penguasaan manajemen, misalnya sebuah pabrik rokok pada dasarnya adalah cabang dari sebuah pabrik rokok yang lain, hubungan antar pemilik pabrik adalah atasan dan bawahan. Penggunaan teknologi yang sama juga termasuk dalam aspek hubungan manajemen. Sedang dalam aspek bahan baku, misalnya pasokan bahan baku dari sumber yang sama.

Penguasaan aspek modal, manajemen, teknologi, dan atau bahan baku atas sebuah atau lebih pabrik lain tentu hanya dapat dilakukan oleh pabrik besar. Bisa saja dilakukan oleh pabrik kecil atau menengah, tapi kecenderungan itu akan kecil, mengingat motifnya kurang mencukupi. Oleh karenanya jamak dipahami, bahwa hubungan istimewa adalah istilah lain dari hubungan induk dengan anak perusahaan dalam bentuk yang paling konvensional.

Bagaimana Persisnya?

Lalu bagaimana persisnya hubungan istimewa di satu sisi dianggap menguntungkan secara sepihak bagi pengusaha yang melakukan, dan di sisi yang lain berpotensi merugikan penerimaan negara akibat penghindaran tarif?

Sebagaimana kita ketahui, variabel yang menentukan besarnya tarif cukai ada tiga, yaitu golongan pengusaha pabrik, jenis hasil tembakau, dan batasan harga jual eceran (HJE). Semakin tinggi golongan pabrik dan HJE-nya, semakin besar tarif cukainya.

Sebagai ilustrasi, kita tampilkan daftar tarif cukai untuk dua produk yang paling mendominasi pasar saja: Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Kretek Tangan (SKT). Daftar tarif dalam tabel berikut berdasarkan PMK 190 tahun 2010 yang merupakan perubahan kedua atas PMK 181 tahun 2009 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau (perubahan ketiga yaitu PMK 167 tahun 2011 sudah dinyatakan tidak sah lagi oleh Mahkamah Agung).

JenisGolonganProduksi batang/tahunBatasan HJE/batangTarif/batang
SKMILebih dari 2 miliarLebih dari  Rp 660Rp 325
Rp 630-Rp 660315
Rp 600-Rp 630295
IITidak lebih dari 2 miliarLebih dari Rp 430245
Rp 380-Rp 430210
Rp 374-Rp 380170
     
SKTILebih dari 2 miliarLebih dari Rp 590235
Rp 550-Rp 590180
Rp 520-Rp 550155
II400 juta-2 miliarLebih dari Rp 379110
Rp 349-Rp 379100
Rp 336-Rp 34990
IIITidak lebih dari 400 jutaTerendah Rp 23465

Tabel 1. Tarif Cukai SKM dan SKT

 Keberadaan variabel-variabel tarif cukai tersebut meninggalkan celah yang bisa disalahgunakan oleh pengusaha lewat jalan menjalin hubungan istimewa. Pengusaha diuntungkan karena tidak perlu membayar cukai dengan tarif golongan di atasnya (yang dihindari), sementara negara dirugikan karena potensi penerimaan tersebut menghilang.

Ilustrasinya seperti ini.

Misalnya ada seorang pengusaha SKM golongan II yang ternyata mampu memproduksi 2,5 miliar batang rokok per tahun. Agar tidak naik ke golongan I, maka dia bisa mengalihkan produksi 0,5 miliar sisanya ke pabrik lain, dengan jalan menjalin hubungan istimewa. Sebagaimana dalam tabel, sebagai golongan II, tarif cukai yang dikenakan adalah Rp 170 hingga Rp 245 per batang, tergantung batasan HJE-nya. Sedang ketika pengusaha tersebut naik menjadi golongan I, maka tarifnya adalah Rp 295 hingga Rp 325.

Dengan produksi 2,5 miliar batang dalam bentuk hubungan istimewa, pengusaha tersebut akan membayar cukai minimal sebesar Rp 170 x 2 miliar = Rp 340 miliar melalui pabrik yang sekarang, ditambah Rp 170 x 0,5 miliar = Rp 85 miliar melalui pabrik mitra istimewanya, atau total Rp 425 miliar.

Apabila si pengusaha bersedia naik ke golongan I, maka dia harus membayar cukai minimal sebesar Rp 295 x 2,5miliar = Rp 737,5 miliar. Jika dikurangi dengan cukai yang dibayar saat ini yaitu Rp 425 miliar, maka selisihnya adalah  Rp 312,5 miliar. Angka selisih tersebut merupakan besaran minimal cukai yang berhasil dihindari oleh si pengusaha, atau yang menjadi kehilangan penerimaan cukai bagi negara. Rp 312,5 miliar tentu tidak sedikit, mengingat itu lebih dari 9.000 tahun TKPKN seorang pegawai Bea Cukai golongan II/d, atau lebih dari dua kali lipat uang negara yang berhasil diselamatkan oleh KPK selama tahun 2011.

Dapat dibayangkan, jika ada pengusaha SKM yang mampu memproduksi hingga 4 miliar batang setahun, daripada dia harus membayar cukai minimal sebesar Rp 295 x 4 miliar = Rp 1,18 triliun sebagai pengusaha golongan I, secara logika bisnis dia lebih memilih untuk membuat 2 pabrik golongan II yang masing-masing hanya perlu membayar cukai minimal sebesar Rp 170 x 2 miliar = Rp 340 miliar, atau total Rp 680 miliar untuk 2 pabrik. Sementara negara dirugikan minimal sebesar selisihnya, yaitu Rp 500 miliar yang seharusnya menjadi penerimaan cukai tahun itu. Andaikan saja biaya untuk “membentuk” hubungan istimewa (misalnya membuat sebuah pabrik baru) itu adalah Rp 500 miliar, maka si pengusaha dapat balik modal dalam waktu satu tahun saja. Sementara negara kehilangan potensi penerimaannya selama bertahun-tahun kemudian.

Penutup

Dengan ilustrasi dan bentuk yang paling sederhana saja, hubungan istimewa dapat menghilangkan potensi penerimaan negara yang cukup signifikan. Yang tentunya berarti mengurangi kapasitas negara untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera.

Pemberlakuan PMK 191 ini merupakan momen bagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk meneguhkan kembali komitmennya sebagai penegak hukum sekaligus pengumpul penerimaan negara, apabila memang ditemukan hubungan istimewa di lapangan. Apalagi masyarakat umum sendiri sudah tidak asing dengan wacana hubungan istimewa ini, karena beberapa media massa nasional pernah mengangkat wacana tersebut dalam kurun waktu dua tahun ini.