Berbagai kalangan belakangan ini meributkan kembali efektivitas reformasi birokrasi Kementerian Keuangan. Menurut mereka, dengan masih adanya pegawai yang terindikasikan melakukan korupsi, menjadi pertanda yang sahih bahwa reformasi birokrasi tidak efektif atau bahkan gagal.

Bagian dari reformasi birokrasi yang sering dijadikan bahan kritik berbagai kalangan tadi adalah remunerasi. Pegawai Kementerian Keuangan diberikan remunerasi berupa kenaikan tunjangan yang menjadikan penghasilan mereka lebih tinggi daripada PNS lainnya, dengan hitungan matematis yang diharapkan mampu menghilangkan korupsi.

Sementara berbagai kalangan berteriak, sebagian lainnya mencoba bersikap lebih bijak. Mereka menyerukan pentingnya kekuatan dalam diri manusia untuk mencegah korupsi. Istilahnya, mencegah korupsi dengan hati. Makanya marak di tengah kita, kelas-kelas motivasi berbiaya tinggi yang mengajarkan itu—sementara yang kita ingat hanya yel-yel untuk membangkitkan semangat. Kita semua sepakat, kekuatan hati itu penting. Seperti kita juga sepakat, kekuatan hati saja tidak cukup.

Membenahi birokrasi diperlukan lebih dari sekedar remunerasi dan penataan hati. Kenaikan tunjangan adalah awal yang strategis untuk mengurangi godaan, seperti halnya menata hati itu bagus sebagai benteng masing-masing pegawai. Tapi untuk mencegah korupsi di birokrasi diperlukan sistem yang komprehensif. Karena terkadang perilaku korup itu merupakan bias dari konteks sosial akibat sistem yang masih memungkinkan itu terjadi. Sistem yang komprehensif yang diharapkan adalah sistem yang mampu mencegah korupsi, baik bagi yang hatinya sudah tertata ataupun belum.

Reformasi birokrasi adalah reformasi sistem, bukan istilah lain dari pemberian remunerasi. Karena yang kita ubah—dan terus kita cari—adalah sistem, maka reformasi birokrasi memerlukan waktu, komitmen, dan energi yang tidak sedikit. Tertangkapnya oknum, misalnya, adalah bagian dari upaya itu. Anggap saja sebagai ongkos perubahan.

Bea Cukai Kudus berupaya membentengi diri dari korupsi melalui sistem, baik itu pengendalian intern oleh Seksi Kepatuhan Internal, sistem pengaduan masyarakat (Sipuma), maupun manajemen ISO 9001:2008. Meskipun belum sempurna, setidaknya semua itu menjadi wujud komitmen yang nyata.

Bea Cukai Kudus juga mencoba proaktif melakukan sosialisasi anti-korupsi, baik kepada pegawai, pengguna jasa, maupun masyarakat. Pengguna jasa dirasa perlu untuk diberikan sosialisasi agar memiliki persepsi anti-korupsi yang sama, sehingga menutup peluang main mata di kedua belah pihak. Sementara masyarakat juga perlu diberikan pemahaman bahwa instansi Bea Cukai bukanlah instansi yang korup sebagaimana stigma negatif sebagian masyarakat.

Tanggal 30 April mendatang, Bea Cukai Kudus bekerja sama dengan KPK akan memberikan sosialisasi anti-korupsi kepada pegawai, pengguna jasa, dan mahasiswa, serta Training of Trainers Anti-Korupsi untuk Ketua OSIS dan Pemred Mading SLTA se-Kudus.