Dalam teori Tipping Point, Barton, Tevez, Aguero, penjaga garis, dan wasit “berusaha” mengintervensi konteks. Itu adalah kejadian sesaat setelah kapten Queen’s Park Rangers (QPR), Joey Barton, dikartu merah saat melawan Manchester City. Kejadian ini turut menjadi penentu drama partai terakhir Liga Inggris 2011/2012.
Pertandingan ini, konteksnya, memang layaknya final. Kedua tim membawa motivasi yang teramat kuat. Man City ingin menjuarai liga setelah 44 tahun, QPR ingin selamat dari degradasi. Sementara di tempat lain Manchester United dan Bolton Wanderers memiliki motivasi serupa.
Sebelum pertandingan, media massa secara umum menyorot bahwa bola panas berada pada Man United, karena posisinya yang kalah selisih gol dari Man City. The Citizen tampak di atas angin karena diprediksi akan menang mudah melawan QPR. Namun tidak pada kenyataannya.
Bola panas bertekanan tinggi justru berada pada Man City. Pelatih Roberto Mancini dihadapkan pada tuntutan membuat sejarah (oleh dia sendiri, pendukung, klub, investor, dll) dan juga pertaruhan kehormatan orang yang dilengserkan untuk diisi tempat olehnya: Mark Hughes, pelatih QPR yang melatih City di awal era Manshour. Hughes tidak ingin QPR degradasi ditentukan oleh mantan anak asuhnya yang justru menjuarai liga (yang dulu tidak bisa dilakukannya), sekaligus mengalahkan bekas klubnya semasa bermain (dia mantan striker kesayangan Sir Alex).
Bisa jadi, motivasi Hughes inilah yang melecutkan nyali pasukan QPR. Sesaat setelah Djibril Cisse menyamakan kedudukan (menit 47), terjadilah peristiwa yang mengubah konteks tersebut.
Dua sosok kontroversial (dan bengal), Joey Barton dan Carlos Tevez terlibat insiden. Barton kedapatan melanggar Tevez tanpa bola. Setelah berkonsultasi dengan penjaga garis, wasit mengkartu merah Barton. Sebelum keluar, Barton menyepak kaki belakang Aguero. Terjadilah sedikit kerusuhan. Bahkan Vincent Kompany sempat menunjukkan sosoknya sebagai kapten. Mereka semua ‘tampak’ hendak mengubah konteks.
Entah sebenarnya apa yang menjadi motif insiden Barton-Tevez. Yang jelas, Barton menjadi martir bagi klubnya: jika QPR selamat, pengorbanannya tidak sia-sia, begitu sebaliknya. Mengacaukan emosi lawan, meski taruhannya adalah dikartu merah, adalah hal yang dapat berpengaruh signifikan dalam pertandingan. Tidak mengherankan sosok temperamental (baca: berkarakter) seperti Patrick Vieira, saat menjadi kapten Arsenal, kerap menjadi martir demi menghancurkan mentalitas Man United.
Tevez pun demikian: jika ia ‘mengupayakan’ insiden tersebut (dari karakternya sangat mungkin) dia adalah martir, seolah ingin menunjukkan bahwa dia dapat melakukan apapun untuk kemenangan klubnya. Tevez semacam menebus kesalahannya di musim ini yang membuatnya dibenci suporter. Sekaligus juga ‘menunjukkan’ kembali bahwa dialah pahlawan City sesungguhnya (versi FourFourTwo, Tevez adalah pemain asing paling berpengaruh di sejarah Man City).
Sedang Aguero, yang jatuhnya mengingatkan kita pada Diego Simeone di Prancis 1998, turut memperkeruh emosi pertandingan.
Akibat insiden ini, kedua tim berada di bawah tekanan yang sama untuk menghadapi menit-menit berikutnya: tujuan keduanya belum aman!
Menit yang tersisa adalah pentas 2 pelatih. Ini bukan antara Mancini dengan Sir Alex (karena pengalamannya, jelas Sir Alex lebih tahan menghadapi tekanan, buktinya Man United menang di pertandingan sebelah, tanpa drama yang berarti). Ini adalah tentang Mancini dan Hughes. Keduanya belum terbukti sungguh ditempa tekanan. Titel yang diraih Mancini sebelumnya, tidak seberat menjuarai Liga Inggris. Hughes pun belum pernah berada di puncak sepuncak-puncaknya. Keduanya menyesuaikan taktik dengan mengatur ulang susunan pemainnya.
Mancini under very high pressure saat QPR berhasil unggul 2-1 (yang artinya Man United juara) hingga waktu normal selesai. Di sinilah perubahan konteks terjadi secara drastis. Akibat insiden Barton-Tevez yang memakan waktu, wasit menambah injury time sepanjang 5 menit. Meski injury time adalah konsekuensi logis yang biasa, namun menimbulkan efek psikologis yang berbeda (apalagi dalam kondisi pertandingan seperti ini). Bagi pasukan City, ini adalah perpanjangan nafas yang sangat berarti. Sedang bagi QPR, ini tidak lagi berarti (pun bagi Hughes jika ia mengharapkan kemenangan Man United), toh mereka sudah terhindar dari degradasi. Dengan pemaknaan yang berbeda, suasana pertandingan pun menjadi berbeda. Sampai akhirnya Dzeko, yang rambutnya seperti baru bangun tidur pada partai itu, dan Aguero mencetak gol di 4 menit terakhir injury time.
Kemenangan dramatis ini sekilas tampak setangkup dengan kemenangan Man United di final Liga Champions 1999, tapi secara konteks (jika memang motivasi QPR sudah mengendur di masa injury time) berbeda. Yang pasti, Mancini dan Hughes telah tertempa pengalaman di Ettihad tersebut. Dan yang lebih pasti, kedua klub harus berterima kasih kepada Joey Barton dan Carlos Tevez.
Malcolm Gladwell dalam Tipping Point menyebutkan bahwa perubahan kecil pada konteks dapat mengubah keadaan secara drastis. Tandukan Zinedine Zidane pada final Piala Dunia 2006, atau ditariknya Mario Basler dan sambutan berlebihan suporter terhadap penggantinya (Hasan Salihamidzic) pada final Liga Champions 1999, juga memiliki peran yang sama: yang melengserkan timnya.