Sejarah pertumbuhan bangsa kita sejak diproklamirkan sudah tergores tebal. Bagaimana bangsa ini belajar menjadi sebuah bangsa yang berdaulat, belajar bagaimana berdemokrasi, bagaimana membangun. Bangsa ini juga telah diterpa berbagai ujian secara sosial maupaun politik.
Meski telah lama melalui proses pembelajaran, saat ini Indonesia bukanlah bangsa yang maju dengan tingkat kesejahteraan rakyatnya yang tinggi. Kemiskinan masih menjadi realitas sehari-hari yang meliputi rakyat kita.
Dari kemiskinan itu kemudian memunculkan efek domino yang luar biasa. Bukan pada tataran fisik saja, tapi juga pada tataran psikis dan mental. Sehingga bukan hanya masalah busung lapar, gizi buruk, atau kebodohan dan pengangguran ‘kasat mata’ saja, tetapi juga kriminalitas-yang sangat beragam, bunuh diri, atau mental premanisme gaya ‘Pak Ogah’ yang meningkat pesat dan merata.
Terlukanya mental dalam dimensi sosial kehidupan masyarakat kita, turut berpengaruh pada aktivitas politik bangsa, terutama pada level akar rumput. Hal ini dapat kita temukan pada maraknya gejala anarkisme politik yang diperagakan rakyat di berbagai penjuru daerah akhir-akhir ini. Gejala yang sebagian besar merupakan reaksi dari kekecewaan dari arena pilkada ini, semakin menunjukkan bahwa kesejahteraan lah yang menjadi pangkalnya. Mengapa? Karena pemerintah daerah lah yang berhubungan langsung dengan rakyat sehari-harinya.
Rakyat pada dasarnya menginginkan kesejahteraan, sehingga ketika arena politik praktis tidak menjanjikan harapan itu, mereka gampang terprovokasi. Mental yang terluka menjadi hambatan tersendiri bagi bangsa kita dalam menuntaskan demokratisasi yang sudah berjalan lebih dari tujuh tahun.
Secara umum, tampak kelesuan, kebingungan, atau bahkan keletihan dari rakyat kita. Jika hal ini dibiarkan berlarut-larut, rakyat dapat kehilangan motivasi (reason to do) dalam berbangsa. Dengan krisis mental yang dimiliki, rakyat akan kehabisan alasan untuk melakukan sesuatu bagi tanah airnya. Harapan besar rakyat akan janji kesejahteraan perlahan tapi pasti, kian memudar.
Penyebab Hilangnya Motivasi Rakyat
John C. Maxwell dalam bukunya Developing the Leader within You, memaparkan faktor penyebab hilangnya motivasi dari seseorang adalah ketika orang itu diremehkan, dimanipulasi, diperlakukan dengan tidak sensitif, dan dihambat pertumbuhannya.
Rakyat kita tumbuh di alam kemerdekaannya dengan berbagai penderitaan. Keberadaannya tidaklah lebih dari sekadar komoditas politik saja. Mereka dibela hanya ketika hak berdaulat mereka diperlukan untuk kepentingan kekuasaan tertentu. Setelah itu mereka dibiarkan kembali bergumul dengan penderitaannya. Keberadaannya sebagai pemegang kedaulatan di negeri ini telah diremehkan. Mereka selalu dimanipulasi.
Rakyat juga sering diperlakukan dengan tidak sensitif. Lagu-lagu lama perilaku para penguasa yang serba pragmatik yang mengutamakan kepentingan dirinya sendiri, sudah terbiasa terdengar oleh rakyat kita. Pragmatisme semacam inilah yang kemudian menghambat pertumbuhan rakyat kita sebagai bangsa.
Mengembalikan Motivasi Rakyat
Lebih lanjut Maxwell menyebutkan bahwa seseorang dapat termotivasi ketika keberadaannya dihargai, diajak berperan serta, mengalami kekecewaan ‘positif’, dan memiliki harapan yang jelas.
Hakikat kemerdekaan adalah ketika rakyat mendapatkan hak-haknya secara penuh dan sebagaimana mestinya. Terbelenggunya seseorang dari orang lain menunjukkan bahwa orang itu belum menikmati kemerdekaannya. Secara konsepsi, rakyat kita akan kembali menemukan motivasinya jika mereka diberikan hak-haknya secara utuh. Rakyat akan kembali termotivasi ketika mereka diakui keberadaan dan peran sertanya, dalam segala pengertian keberadaan dan peran serta itu. Dengan kata lain, keadilan bagi rakyat mutlak untuk diwujudkan. Itu yang pertama.
Kedua, kekecewaan yang mendalam di hati rakyat selama ini sebenarnya juga bisa menjadi alat picu motivasi untuk bangkit. Namun kekecewaan tersebut sering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk menyulut anarkisme, pemberontakan, bahkan separatisme. Kekecewaan yang didiamkan memang akan menimbulkan kemungkinan yang besar bagi hal-hal semacam itu. Pemerintah tidak bisa serta merta memadamkan kekecewaan tersebut, karena rakyat sudah apatis. Harus ada kejelasan sikap dan respon sebijak mungkin dari pemerintah.
Ketiga, pudarnya harapan menjadi titik tolak hilangnya motivasi rakyat bangsa kita. Ini harus dikembalikan. Harapan harus disemaikan lagi. Tentu menjadi tanggung jawab utama pemerintah untuk melakukan perencanaan yang matang dan jelas ke mana bangsa ini akan dibawa. Kebijakan antara unit pemerintahan yang satu dengan yang lainnya harus seirama. Selayaknya karyawan yang akan termotivasi bekerja karena jelasnya visi perusahaan, rakyat akan termotivasi hidup karena jelasnya visi pemerintahan.
Keempat, selain mewujudkan keadilan, respon yang bijak, dan kejelasan visi pemerintahan, satu hal yang lebih penting dari itu semua adalah mengembalikan kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Dan menjadi syarat dasar untuk mengembalikan kepercayaan itu adalah pembuktian komitmen pemerintah dengan memperlihatkan integritasnya di mata rakyat.
Integritas menurut Stephen Covey dalam bukunya 7 Habits of Highly Effective People, berarti menyesuaikan realitas dengan kata-kata kita – dengan kata lain, memenuhi janji dan memenuhi rencana. Ketiadaan integritas dapat merusak hampir semua usaha lain untuk meningkatkan kepercayaan. Integritas sangat terkait dengan kesungguhan dan tanggung jawab.
Dalam konteks ini, pemerintah dituntut untuk tidak sekadar mengumbar janji dan retorika, tetapi juga berupaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan apa yang dijanjikannya itu. Sebagai contoh, ketika pemerintah mengatakan keadilan akan diwujudkan, berarti dalam tindakannya pemerintah harus selalu berupaya memenuhi rasa keadilan tersebut. Setiap realitas tindakan pemerintah berlainan dengan apa yang pernah dijanjikan, setiap itu pula kepercayaan rakyat hilang.
Integritas sama sekali berlawanan dengan sikap plin-plan. Integritas mencakup kejujuran dalam berkomitmen. Meskipun pada akhirnya tujuan gagal diwujudkan, rakyat dapat menilai, apakah kegagalan itu merupakan hasil dari proses usaha yang maksimal, atau dari usaha sekadarnya.
Hari kemerdekaan adalah momen yang tepat bagi kita untuk kembali berfikir dan berbuat yang terbaik bagi bangsa. Kaidah berfikir holistik menghendaki kita untuk tidak terlepas dari sejarah masa lalu, mampu mencerna realitas masa sekarang, kemudian mampu memproyeksikannya untuk masa depan.
Hari kemerdekaan juga selalu tepat bagi kita untuk memahami kembali nasionalisme, semangat kebangsaan, patriotisme, dan idealisme yang telah dibuktikan oleh para pendiri bangsa untuk membangun bangsa kita ini.
60 tahun mempertahankan kemerdekaan merupakan usia yang panjang bagi bangsa multietnik dan multikultur sebesar Indonesia. Membangun bangsa dengan beragam suku budaya dan agama dalam konsep kesatuan dan keadilan bukanlah perkara yang mudah. Ini membutuhkan kerja keras kita semua.
Kita memang tidak bisa kembali ke masa lalu untuk membuat awal yang baru, tetapi kita selalu bisa berubah sekarang untuk membuat akhir yang baru.
(artikel ini pertama kali dimuat pada harian Kendari Ekspres, 18 Agustus 2005)