Psikografis, kurang lebih berarti gambaran atau ukuran kejiwaan. Biasanya jiwa suatu masyarakat ‘diukur’ untuk memperoleh peta mengenai latar belakang perilaku mereka. Gambaran psikologis ini jamak didapatkan melalui survei.
Riset terhadap masyarakat selama ini kerap hanya mengandalkan data keras berupa data demografis saja. Dengan data demografis, kita hanya memetakan masyarakat berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, lokasi, dan kriteria kasar lainnya. Kita akan kesulitan membaca masyarakat secara utuh hanya dengan data semacam ini.
Akibat hanya mengandalkan data demografis, banyak pihak yang ingin memenangi pasar justru gagal menjual produknya. Bukan hanya pemasaran barang dagang, banyak kampanye partai politik yang ‘garing’ hanya karena tidak tahu persis kondisi pasar konstituennya. Apalagi pemerintah-yang semestinya paling tahu kondisi rakyatnya-, justru kerap melakukan blunder melalui program-program menggelikannya. Bantuan Langsung Tunai contohnya.
Apa yang melatarbelakangi berbagai perilaku dalam masyarakat tidak akan terbaca dengan data demografis. Alasannya jelas, faktor yang mendasari perilaku seseorang, seperti paradigma, kecenderungan, kebiasaan, ataupun yang lain, tidak dapat digolongkan berdasarkan kriteria demografis. Kebiasaan bergosip tentu tidak hanya terjadi pada kalangan wanita, bukan?
Faktor perilaku seseorang dapat kita ketahui dengan jalan mensurveinya secara psikologis. Di sinilah pentingnya survei psikografis. Survei ini mencoba meneropong, terutama, pada aktivitas, kepentingan, dan opini masyarakat, untuk mengetahui paradigma dan faktor lain yang melatarbelakangi perilaku mereka. Hasilnya, akan tersegmentasi pada kelompok-kelompok dengan kecenderungan psikologis tertentu. Dan survei psikografis semestinya tidak berhenti di sini, tapi melanjutkannya ke pengujian perilaku setelah diketahui segmentasinya.
Contoh potret psikografis adalah hasil survei Faces of Indonesia yang dilakukan Lowe Indonesia bersama lembaga riset Prompt awal 2005 lalu. Survei tentang perilaku konsumen Indonesia ini menyajikan 8 segmen atau tipe konsumen di Indonesia, dari tipe orang alim, ibu-ibu PKK, sampai bintang panggung (SWA 06/XX). Kelihatan bedanya dengan survei demografis, kan?
Karena objeknya adalah sisi kejiwaan manusia yang cenderung terus berubah, potret psikografis jelas terbentur kendala waktu. Survei tahun ini belum tentu cocok untuk tahun yang akan datang. Nah, jika Anda adalah pejabat pemerintah yang ingin membuat kebijakan riil dan mengena bagi rakyat, atau Anda punya partai politik yang ingin menelurkan program untuk meraih konstituen, atau Anda mengincar jabatan kepala daerah, saya sarankan untuk mengetahui potret psikografis pasar Anda terlebih dahulu.
Artikel ini pernah dimuat dalam kolom Resonansi pada sebuah koran lokal di Sulawesi Tenggara pada medio 2006.