Unit penyuluhan dan layanan informasi (PLI) merupakan unit yang relatif baru di DJBC. Dia muncul seiring dengan semangat reformasi birokrasi nasional. Karena relatif baru, kita masih bisa membentuk unit tersebut sedemikian rupa agar selaras dengan identitas kita. Tidak harus terpancang dengan unit yang kebetulan memiliki nama serupa di instansi lain, karena toh visinya juga berbeda. Lebih dari itu, PLI mengemban fungsi yang dapat berpengaruh signifikan bagi pencapaian visi besar kita menjadi institusi kepabeanan dan cukai berstandar internasional.
Secara tertulis, tugas PLI adalah memberikan penyuluhan dan publikasi peraturan, bimbingan dan konsultasi, serta pelayanan informasi. Tugas pokok tersebut, dalam teori Iceberg Model of Culture, merupakan bagian yang terlihat (visible part) dari organisasi, seperti halnya pernyataan visi dan nilai-nilai, kode etik, peraturan, struktur, SOP, metode, dan sejenisnya. Ada bagian lain yang tidak terlihat (hidden part) dari organisasi, seperti asumsi, nilai-nilai (sebenarnya), filosofi, ideologi, keyakinan, kebiasaan, motivasi, pemaknaan, dan sejenisnya; yang justru berperan signifikan, yaitu mengendalikan visible part. Bagian tidak terlihat ini merupakan cara organisasi berpikir dan merasa. Apapun yang terlihat dari kinerja PLI (dan unit lain) merupakan sumbangsih dari bagian yang tidak terlihat itu.
Bagian organisasi yang tidak terlihat, kerap terbentuk secara tidak sadar, menjadi semacam program otomatis. Hal ini tentu bukan masalah ketika itu memberdayakan dan efektif bagi organisasi. Tetapi sayangnya, dari mana kita tahu bahwa hal tersebut memberdayakan dan efektif? Oleh karena itu, lebih baik bagi kita, jika berusaha mengintervensi proses tidak sadar tersebut, dengan membentuk program sendiri secara sadar. Salah satunya adalah dengan merumuskan filosofi yang tepat.
Filosofi merupakan definisi. Sebagaimana rapat yang tidak efektif karena topik bahasan yang tidak didefinisikan terlebih dahulu, untuk mencapai tingkat efektivitas optimal, penyuluhan juga perlu didefinisikan sedini mungkin. Penulis sendiri dalam tulisan ini mengusulkan sebuah filosofi mengenai penyuluhan, tanpa secara umum menyebut PLI atau Hubungan Masyarakat.
Mendefinisikan Penyuluhan
Kata dasar penyuluhan adalah suluh, yang berarti terang. Jadi penyuluhan berarti upaya untuk menerangkan sesuatu. Penerangan tersebut hanya diberikan kepada pihak eksternal organisasi, yang diasumsikan masih gelap pemahamannya akan hal yang terjadi di internal (sehingga perlu diterangkan). Hal-hal yang diterangkan berupa kebijakan, peraturan, maupun informasi kegiatan yang dilakukan oleh organisasi.
Untuk menjalin hubungan dengan pihak eksternal tersebut, unit penyuluhan melakukannya dengan menjalin komunikasi. Pilar pertama komunikasi penyuluhan adalah memahami komunikan, sehingga keberhasilan komunikasi terletak pada respon yang kita dapat dari komunikan. Komunikator perlu memahami komunikan (melakukan pacing) terlebih dahulu, baru bisa memberikan pemahaman (leading) kepada mereka. Penyuluhan dianggap berhasil, pertama kali ditentukan oleh berhasil tidaknya kita memahami kondisi pengguna jasa, masyarakat, dan pihak eksternal lainnya. Pemahaman ini akan menentukan pilar kedua, yaitu bagaimana kita menyampaikan pesan kita kepada mereka.
Pilar kedua adalah pelekatan pesan. Masih terkait erat dengan pilar pertama, namun pilar ini lebih menitikberatkan pada cara penyampaian pesan kepada komunikan: bagaimana agar pesan penyuluhan kita melekat di pikiran masing-masing komunikan. Ini adalah proses penerjemahan kebijakan, peraturan, maupun informasi lainnya, dari bahasa kita sebagai pemerintah ke bahasa komunikan, disesuaikan dengan karakter komunikan, media yang dipakai, dan sasaran yang hendak dicapai. Tidak hanya dalam tataran public speaking dalam forum, tetapi dalam tataran komunikasi yang lebih massal. Dari urusan pemilihan kata-kata dalam spanduk, penyusunan menu situs yang user friendly, penggunaan asosiasi yang tepat dalam ceramah, dan seterusnya.
Pilar ketiga adalah skalabilitas. Bagaimana kita berfokus pada efektivitas dalam berbagai skala. Tidak hanya berfokus pada efektivitas penyuluhan dalam satu forum saja, tetapi juga efek penyuluhan bagi masyarakat lain yang tidak berkesempatan menghadiri forum-forum tersebut. Oleh karenanya diperlukan pemahaman ilmu yang lebih luas dari sekedar public speaking, seperti misalnya ilmu propaganda, strategi sosial, dan hipnosis budaya.
Prasudi Baksya
Ketiga pilar tersebut memungkinkan kita untuk senantiasa menjalin hubungan relasional yang sehat dengan pihak di luar organisasi: memenuhi kebutuhan pemahaman mereka dan mewakili organisasi untuk berinteraksi secara horizontal dengan mereka. Dengan kata lain, penyuluhan pada dasarnya juga berfungsi untuk memelihara hubungan tersebut, agar selalu terjalin dengan baik. Dalam bahasa Sansekerta[i], istilah yang tepat untuk menggambarkan fungsi tersebut adalah prasudi, yang berarti upaya merawat, memelihara. Memelihara hubungan semacam ini tentu lebih bernilai ketimbang upaya pencitraan yang kosmetis, egois, dan narsis.
Karena berhubungan dengan lingkungan eksternal, penyuluhan senantiasa dihadapkan pada dinamika perubahan yang terjadi pada lingkungan tersebut. Apalagi perkembangan telematika, khususnya internet seperti sekarang ini, yang menghadirkan perubahan pola pikir yang cukup berarti, termasuk (anehnya) berdampak pada masyarakat yang tidak akrab dengan internet sekalipun. Untuk menghadapi tantangan yang dinamis tersebut, penyuluhan harus memiliki kemampuan untuk menghasilkan sebanyak mungkin ide kreatif, agar tanggung jawab pemahaman kepada pihak eksternal yang diembannya, selalu dapat terpelihara dengan baik. Secara lebih sederhana, orang pada umumnya akan cepat bosan dengan delivery penyuluhan yang itu-itu saja, sehingga perlu banyak variasi. Istilah Sansekerta yang tepat untuk menggambarkan kemampuan tersebut adalah baksya, yang berarti kreatif. Personel penyuluhan merupakan pegawai yang hendaknya mau meluangkan waktu untuk berani berpikir kreatif.
Dalam frase yang sederhana, filosofi penyuluhan adalah prasudi baksya, yaitu upaya untuk memelihara hubungan relasional yang sehat dengan pihak eksternal organisasi, melalui upaya-upaya kreatif semaksimal mungkin. Agar filosofi ini tidak menjadi pernyataan tertulis saja (bahkan sebaiknya tidak perlu ditulis), kita patut meresapkan dan menerjemahkan filososfi ini ke dalam perencanaan kerja yang matang (dalam skala strategis, tahunan, maupun per kegiatan), pengukuran umpan balik kualitatif yang memberdayakan (bukan monitoring kuantitatif yang kaku), dan continous improvement. Keberhasilannya tentu harus didukung oleh sistem administrasi yang ada, seperti misalnya pengertian kegiatan sosialisasi yang tidak hanya terbatas pada forum klasikal saja, atau lainnya.
[i] Bahasa Sansekerta adalah bahasa lampau yang pengaruhnya di kawasan Asia Tenggara dinilai sama dengan pengaruh bahasa Latin pada perkembangan masyarakat Eropa. Jadi penggunaan bahasa Sansekerta tidak berarti merujuk kepada bahasa daerah tertentu.