Beberapa bulan yang lalu, sempat diadakan survei kepuasaan pegawai, yang salah satunya menanyakan apakah kita puas dengan take home pay kita setelah remunerasi sekarang ini. Meski ada yang bilang sudah memuaskan, banyak pula yang menyatakan masih kurang. Ini dari pendapat yang saya dengar. Meski belum representatif, setidaknya bisa dijadikan renungan. Lagipula representatif atau tidak, bagi saya organisasi itu seperti hologram, sebagiannya walau secuil tetap mewakili keseluruhannya.
Ada dua arus pendapat yang menonjol di sini. Satu ‘seharusnya cukup’ dan satunya ‘kenapa harus cukup?’. Pendapat pertama menyandarkan pada ukuran ‘objektif’. Objektif karena seharusnya kita bersyukur masih diberi rizki oleh Tuhan, banyak yang lebih menderita dari kita. Atau objektif karena standar karyawan swasta dengan pendidikan x adalah y rupiah, sedang take home pay kita lebih dari y, bahkan strata pendidikan kita ada yang kurang dari x. Di arus ini ada juga yang mengemukakan alasan subjektif: bagi saya sudah cukup dengan penghasilan segitu, apalagi yang saya cari, toh bla.. bla…
Arus kedua dengan pegangan ‘kenapa harus cukup?’ tentu saja bersandar pada subjektivitas pribadi. Ada yang tega menyebutnya sebagai egois. Jika ditanya kepuasan tentu ego kita akan menjawab, ‘Mosok dengan 5 juta per bulan saya sudah puas?’ Misalnya. Apalagi harus buat beli tiket pulang kampung tiap pekan? Misalnya lagi. Kapan bisa beli mobil? Rumah? Sawah? Dan seterusnya.
Lalu bagaimana? Yang jelas kita tidak bisa meletakkan dogma ‘seharusnya cukup’ ke dalam kerangka ‘kenapa harus cukup?’. Demikian pula sebaliknya. Bisa kacau. Menurut saya, dua pendapat tersebut hanya memandang remunerasi sebagai konten saja. Tanpa melihat konteks yang menyertainya. Dengan memandang remunerasi beserta konteksnya, mungkin kita bisa mengukur secara adil, jujur, dan proporsional, tanpa perlu menanggalkan objektivitas dan ego kita.
Benar. Konteks naiknya take home pay kita dalam rangka remunerasi adalah reformasi birokrasi. Tanpa reformasi birokrasi mungkin tidak ada alasan bagi kita untuk dinaikkan penghasilannya. Sebaliknya, dengan naiknya penghasilan diharapkan kinerja kita akan berimbas positif terhadap keberhasilan reformasi birokrasi. Seperti makna remunerasi itu sendiri yang artinya penghargaan atas jasa/ prestasi (KBBI), dinaikkannya take home pay kita semestinya karena ada prestasi yang harus kita torehkan. Dalam hal ini, bentuknya macam-macam. Entah kedisiplinan, kinerja terukur, bebas suap, pencapaian target, penindakan, pelayanan prima, dan lain-lain.
Oleh sebab acara menebalnya isi dompet kita dalam rangka reformasi birokrasi, kita jadi tahu sejauh mana posisi tawar kita. Posisi tawar ini penting. Minimal agar kita tahu diri dan ora ngisin-ngisini. Dari sini setidaknya ada empat hal yang patut kita lihat. Pertama, kita adalah PNS yang dibayar dengan uang rakyat, jadi tidak semestinya kita minta dibayar setinggi langit. Setinggi bayaran Lionel Messi di Barcelona misalnya. Sebelum reformasi birokrasi saja, belanja pegawai (termasuk gaji) sudah menyedot mayoritas pengeluaran APBN, apalagi setelahnya. Kedua, tanggung jawab kita cukup besar dan strategis bagi bangsa dan negara, dari mengumpulkan penerimaan negara, melindungi masyarakat, hingga membantu perdagangan dan industri, di sini kita layak ‘dibayar lebih’ dari PNS lain yang tanggung jawabnya tidak seberat kita. Tapi tetap nggak boleh setinggi langit. Ketiga, kelayakan kita sebagai pribadi untuk mendapatkan remunerasi setimpal. Ukurannya sederhana, apakah kemampuan kita dalam bekerja dapat dengan mudah digantikan oleh orang lain? Jika kemampuan kita standar, masak dibayar lebih dari standar? Keempat, kita meyakini rizki itu dari Tuhan, bukan Depkeu. Jadi kenapa kita ‘memaksa’ Depkeu untuk terus menaikkan penghasilan kita? Bukannya terdengar seperti ‘mengecilkan’ kemampuan Tuhan untuk memberi kita rizki di luar gaji dan tunjangan? Semoga yang ini tidak terjadi.
Mumpung masih bulan Ramadhan, yang kata pak ustadz bulan penuh berkah, ada baiknya kita merenung sejenak. Biar kebagian berkah. Masih banyak pekerjaan rumah bagi kita untuk mencapai standar internasional yang kita visikan. Penyelundupan masih merajalela, rokok ilegal juga di sekitar kita. Belum yang lain. Kita juga patut merenung, reformasi birokrasi diawali di instansi kita, artinya kita lah yang dituntut untuk berperan sebagai agen-agen perubahan yang akan dijadikan model bagi reformasi birokrasi setelah kita. Dan, masih kata pak ustadz, pahala akan banyak digelontorkan selama Ramadhan. Kenapa tidak kita manfaatkan, itung-itung remunerasi juga?