Menurut Taliercio dalam Subnational Own-Source: Getting Policy and Administration Right, begitu sebuah negara memutuskan untuk menerapkan otonomi daerah atau desentralisasi di wilayahnya, dia harus mampu membuat desain kebijakan fiskal yang efektif. Paradigma yang mendasari adalah bahwa desain kebijakan fiskal di daerah harus memenuhi standar kualitas yang diinginkan oleh warga negara di daerah tersebut. Warga negara memandang biaya yang harus dia keluarkan dalam bentuk pajak, harus setimpal dengan kualitas pelayanan yang pemerintah daerah berikan. Untuk dapat mencapai kondisi tersebut, pemerintah daerah harus memiliki otonomi yang memadai untuk melaksanakan pemungutan pajak daerah di wilayahnya. Ini adalah esensi akuntabilitas dan efisiensi dari desentralisasi.
Desain sistem penerimaan di daerah mencakup tiga dimensi penting, yaitu:
- penetapan kewenangan atas sumber penerimaan;
- derajat otonomi yang dimiliki pemerintah daerah untuk melaksanakan kewenangan pemungutan pajak yang diberikan; serta
- efisiensi sistem administrasi penerimaan yang dimiliki.
Dimensi pertama mengenai penetapan kewenangan atas sumber penerimaan meliputi tiga prinsip:
- kebijakan desentralisasi fiskal haruslah didasarkan pada anggaran pengeluaran;
- jangan memungut pajak pada faktor-faktor produksi secara tidak tepat, karena akan menimbulkan distorsi ekonomi; dan
- kewenangan pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah di level serendah mungkin, kecuali akan menimbulkan distorsi ekonomi atau eksternalitas negatif.
Dimensi kedua mengenai derajat otonomi yang dimiliki dan kaitannya dengan kebijakan perpajakan yang dilakukan. Desentralisasi fiskal yang baik dilaksanakan oleh pemerintah daerah yang memiliki derajat otonomi tinggi dalam hal menentukan tarif dan basis pajak daerahnya sendiri. Ketika sebuah pajak daerah meskipun penerimaannya tercatat dalam anggaran daerah, tetapi karena tidak ditetapkan tarif dan basis pajaknya oleh pemerintah daerah, tetaplah bukan sebuah pajak yang “dimiliki”oleh daerah itu sendiri (pajak asli daerah).
Dimensi ketiga mengenai sistem administrasi penerimaan yang seharusnya pemerintah daerah memiliki kontrol yang penuh terhadapnya. Kemampuan kontrol atas sistem administrasi penerimaan oleh pemerintah daerah, dapat memengaruhi tingkat efektivitas tarif perpajakan yang ada. Pemerintah daerah dapat memperbaiki efektivitas tarif pajak melalui tindakan administratif yang dilakukannya. Selain itu, pelimpahan pemungutan pajak dari pusat ke daerah juga seharusnya diikuti dengan pelimpahan penuh kewenangan administrasinya. Hal ini akan memperkuat kapasitas pemerintah daerah sebagai pemungut pajak.
Bentuk-bentuk pajak asli daerah yang dapat diterapkan, meliputi: (a) pajak atas properti/pajak bumi dan bangunan; (b) pajak bisnis dengan asumsi bisnis telah menerima manfaat dari layanan pemerintah daerah, sehingga layak jika dikenakan pajak; (c) pajak penghasilan; (d) retribusi atas layanan yang disediakan oleh pemerintah daerah; dan (e) cukai.
Sisi lain dari rendahnya otonomi yang dimiliki pemerintah daerah atas kebijakan perpajakan adalah berkembangnya “pajak ilegal”. Karena pemerintah daerah memerlukan biaya dalam penyelenggaran pemerintahan, namun memiliki keterbatasan dalam menentukan jenis, tarif, dan basis pajak di daerahnya, muncul lah pembiayaan dari sumber yang tidak resmi. Bahkan di beberapa negara, penerimaan ilegal ini memiliki porsi yang besar dalam total anggaran pemerintah daerahnya. Misalnya pungutan di sekolah dan rumah sakit, perbaikan jalan, reklame, pembelian kendaraan, dan lain sebagainya.
Kinerja penerimaan dalam studi ini menunjukkan, terlepas dari kebijakan, administrasi, dan tantangan politik, terdapat tanda-tanda positif. Artinya, kinerja desentralisasi fiskal di negar-negara studi ini memiliki peluang yang baik di masa depan. Namun demikian, secara proporsi, bagian penerimaan pajak asli daerah belumlah signifikan pengaruhnya dalam total penerimaan pajak nasional. Dalam beberapa kasus justru mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan, desentralisasi fiskal yang mengikuti otonomi daerah belum sepenuhnya berhasil. Daerah masih memiliki ketergantungan yang kuat dari alokasi dana dari pusat.
Berikutnya mengenai sistem administrasi perpajakan dalam konteks pusat dan daerah yang dilihat dari perspektif otonomi dan efisiensinya. Secara umum, administrasi perpajakan yang terpusat dapat mengurangi insentif dalam pengumpulan penerimaan negara, sebagaimana petugas pajak pusat yang memiliki insentif lebih rendah untuk memungut pajak daerah, dibandingkan dengan petugas pajak daerah yang memiliki insentif lebih besar untuk itu. Terdapat empat model dari administrasi perpajakan:
- Administrasi perpajakan terpusat dengan alokasi penerimaan ke daerah.
- Administrasi perpajakan terpusat dengan pemberian kewenangan pemungut pajak bagi daerah.
- Administrasi perpajakan multilevel dengan alokasi penerimaan ke daerah.
- Administrasi perpajakan mandiri dan terpisah di setiap level pemerintahan.
Efisiensi dilihat dari kriteria semakin rendahnya biaya kepatuhan dengan mengambil manfaat dari skala dan lingkup ekonomi. Misalnya kapasitas administrasi perpajakan yang rendah dalam menarik minat para pegawai yang berkualitas akan menyebabkan buruknya kualitas layanan. Kondisi layanan yang tidak berkualitas akan berakibat secara langsung ke biaya kepatuhan yang meningkat.
Selain kebijakan dan administrasi, politik juga menjadi aspek yang mempengaruhi kinerja perpajakan di daerah. Bagaimana adanya intervensi politik terhadap pelaksanaan kebijakan pajak di daerah, penggunaan karisma dari kepala daerah untuk meningkatkan pembayaran pajak, atau lobi-lobi pengusaha untuk menolak rencana kenaikan tarif pajak, dan bentuk-bentuk kegiatan politis lainnya, turut menentukan tingkat keberhasilan desentralisasi perpajakan.
Terdapat empat simpulan dalam tulisan ini yaitu sebagai berikut.
- Pemerintah daerah memiliki keterbatasan kewenangan atas kebijakan perpajakan. Mereka tidak terlibat dalam menentukan tarif dan basis pajak untuk pemungutan pajak daerah di wilayahnya. Dengan perspektif ini, desentralisasi memang lebih kental bercorak politis daripada fiskal. Efisiensi pengeluaran dalam anggaran pemerintah daerah yang dituju oleh desentralisasi, tidak dapat terwujud karena keterbatasan otonomi dalam kebijakan perpajakan tersebut.
- Kurangnya otonomi pemerintah daerah untuk menentukan kebijakan perpajakan di wilayahnya, mendorong mereka untuk mencari sumber penerimaan di luar pajak, yang sayangnya menimbulkan akibat yang merugikan.
- Pemerintah daerah seperti tidak punya pilihan lain di tengah keterbatasannya itu, dan justru cenderung lebih menyukai kebijakan pajak yang longgar dan administrasi perpajakan yang lemah. Dengan demikian, insentif memiliki peran yang baik di sini. Seperti misalnya, alokasi dana perimbangan dari pusat ke daerah yang didasarkan pada kesenjangan antara kebutuhan anggaran dengan kapasitas penerimaan, menimbulkan insentif bagi daerah untuk mengumpulkan penerimaan untuk mengatasi kesenjangan itu.
- Peningkatan administrasi perpajakan pemerintah daerah akan secara signifikan memperkuat sistem keuangan daerah itu sendiri.
Tulisan ini disarikan dari Subnational Own-Source: Getting Policy and Administration Right yang ditulis oleh Robert R. Taliercio, yang merupakan tulisan bertema desentralisasi fiskal dari pemerintah pusat (nasional) ke pemerintah daerah (subnasional) dengan studi di kawasan Asia Timur yakni negara-negara Asia Tenggara ditambah China. Tulisan ini memotret bagaimana implementasi kebijakan fiskal pemerintahan daerah di negara-negara tersebut, dan menemukan mayoritas negara di Asia Timur belum efektif dalam menerapkan desentralisasi fiskal di wilayahnya.
Ilustrasi: decentralization.net