Visi yang sebenarnya adalah apa yang tergambar dalam pikiran kita akan masa depan. Dengan segenap emosi, hasrat, dan obsesinya. Gambar abstrak itu kemudian kita eksplisit-kan dalam bentuk kata-kata. Yang kemudian kita sebut dengan kalimat visi.

Proses peng-eksplisit-an gambar abstrak tadi tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Tidaklah semudah mengetik tuts-tuts keyboard komputer kita. Proses tadi bukanlah sekedar memilih kata-kata yang manis bak pujangga. Bukanlah sekedar mengambil istilah-istilah modern akademis. Proses ini bukanlah mengenai mereka-reka, membayangkan, lalu menuliskan saja. Proses ini adalah lebih dari itu.

Ketika visi ini adalah visi dari sebuah komunitas besar, memiliki sejarah panjang, beraneka ragam, dan bertekad memetakan dirinya dalam masa depan, maka visi ini haruslah dapat dilihat oleh seluruh isi komunitas itu secara tepat persis, dengan segenap emosi, hasrat, dan obsesinya tadi. Tanpanya, yang ada hanyalah sepotong bayangan buram, yang mungkin hanya akan terendap, memuai, atau lenyap begitu saja.

Keluarga Besar Mahasiswa STAN adalah sebuah komunitas akbar, yang memiliki masa lalu gemilang, yang telah berkali-kali melahirkan kontributor-kontributor kebaikan, yang telah sekian lama menjadi pengawal moralitas bangsa, yang telah dan selalu akan melakukan perubahan-perubahan positif untuk negeri ini, dari Sabang hingga Merauke, tanpa kecuali.

Saat keluarga besar ini mencoba untuk menatap masa depannya, terbersit hati ini untuk segera mengambil kuas dan memulai memolesi kanvas pikiran kita. Membentangkan pelangi warna di antara telaga. Menyelami semua samudera, mengetuki setiap palungnya. Menggambarkannya di seluas cakrawala. Lalu mendaki setinggi mungkin gunung, dan menggantungkannya di langit-langit mimpi.

Namun ada kalanya kanvas kita masih kendur, kuas kita pun ragu untuk diayunkan. Ada kalanya hanya hujan yang turun, tanpa menyisakan pelangi di tanah hasrat kita. Ada kalanya badai menghantam samudera kita, meruntuhkan palung-palung di dalamnya. Ada kalanya langit tertutup mendung, dan petir memaksa kita turun kembali ke jerami-jerami kita.

Itulah sebuah proses. Tidak ada hasil yang sempurna tanpa kita melewati semua sudut proses yang ada. Bukanlah sebuah kebaikan, ketika kita memaksakan hadirnya sebuah kenyataan.

Saat kita tahu bahwa laut itu asin, tak perlu lah kita menyebutnya sebagai ‘laut yang asin’. Tidaklah mengapa bagi kita tanpa menyandang gelar keilmuan saat kita benar-benar telah menguasainya. Formalitas tidaklah akan berarti apa-apa tanpa substansi yang terkandung di dalamnya.

Izinkan saya melanjutkan di sini..

Proses penyusunan visi KM STAN yang telah kita lakukan dalam beberapa pekan terakhir ini, pada dasarnya telah mengantarkan kita pada kanvas yang sama. Sketsa pun telah mampu kita goreskan. Namun belum cukup bagi kita untuk mengoleskan warna di atasnya.

Kanvas dan sketsa adalah substansi. Warna adalah harmoni. Untuk menjadikannya sebagai sebuah lukisan yang terang, kita memerlukan harmoni warna yang sesuai. Yang memenuhi keselarasan cita rasa dan letup-letup harapan. Tidak bisa tidak.

Tetapi laju sang waktu saat ini tidak memungkinkan kita untuk mewujudkannya. Ragam variasi warnanya pun belum cukup terakumulasi. Mungkin memang tidak sekarang. Mungkin sewindu, atau setelahnya lagi.

Saat ini, biarlah sepotong demi sepotong mimpi kita tetap menjadi mimpi di tempatnya. Biarlah gambar itu tetap bersemayam dalam pikiran kita. Meski kadang muncul dalam binar-binar mata kita. Terbersit dalam sunggingan senyum kita. Tercerminkan dalam lagak tingkah kita.

Ketika kalimat visi ini tidak kita realisasikan, bukan berarti kita telah melakukan hal yang sia-sia. Justru sebaliknya, kita lah yang telah berani untuk menyingkap tabir hari esok, yang katanya penuh misteri itu. Laksana panglima, kita telah memekikkan semangat dan mengangkat panji peperangan. Laksana petualang, kita telah menerabas rimba yang asing. Kita telah menjejakkan kaki kita di dalamnya, untuk kemudian terus melangkah, menerima setiap tantangan: dari ancaman demoralitas, homoseksual, kesesatan jalan, hingga membersihkan benalu-benalu koruptif dalam jiwa kita. Lalu mengangkat piala kemenangan pada akhirnya.

Artikel ini merupakan Orasi Politik saya sebagai Ketua BLM STAN 2010/2011 yang dibacakan pada tanggal 18 Juli 2010.